Langsung ke konten utama

Selamatan Tujuh Bulanan (Tingkeban)

Selamatan Tujuh Bulan / Tingkeban
Mufijatul Hasanah/ 12010028
Islam Budaya Lokal/ M. Sidqi, M. Hum
Sekolah Tinggi Agama Islam Sunan Pandanaran



A. Pendahuluan
Proses terjadinya manusia merupakan peristiwa yang sangat menakjubkan, sebagai tanda keagungan Sang Pencipta. Berwujud dari benda yang tak bernilai /sperma secara bertahap berubah hingga akhirnya sempurna dan lengkap dengan anggota badan yang tersusun rapi dan rumit, bahkan dilengkapi dengan akal pikiran, budi pekerti dan perasaan.

Ajaran Islam bisa dinyatakan telah kuat jika sudah mentradisi ditengah masyarakat muslim, sehingga tradisi menjadi sangat menentukan dalam keberlangsungan ajaran disaat tradisi itu telah menyatu dengan ajaran, karena tradisi merupakan darah daging dalam tubuh masyarakat, sementara mengubahnya adalah sesuatu yang sangat sulit, maka sangatlah bijaksana ketika tradisi tidak diposisikan berhadapan dengan ajaran, tetapi sebagai pintu masuk suatu ajaran. Dalam makalah ini sekilas dibahas tentang salah satu tradisi yaitu mitoni / Tingkeban, yaitu selamatan yang dilakukan ketika bayi dalam kandungan berusia 7 bulan. Disusun melalui wawancara dengan beberapa ibu-ibu sepuh di Dusun Blunyah diantarannya ibu Dukuh/bu Sri Pujiati, bu Murgiono, bu Muhinah, bu Wanti dan lainnya.

B. Pembahasan

Sejarah Tingkeban
Tradisi tujuh bulanan/tingkeban/mitoni yaitu upacara tradisional selamatan terhadap bayi yang masih dalam kandungan berumur tujuh bulan. Sejarah tradisi ini berawal pada masa Prabu Jayabaya, waktu itu ada sepasang suami istri bernama Niken Satingkeb dan Sadiya, mereka melahirkan anak sembilan kali namun tidak satupun yang hidup. Kemudian keduanya menghadap raja Kediri, yaitu Prabu Widayaka (Jayabaya), mereka disarankan agar menjalankan tiga hal yaitu: Setiap hari rabu dan sabtu, pukul 17.00, diminta mandi menggunakan tempurung kelapa (bathok), setelah mandi berganti pakaian yang bersih dengan menggembol kelapa gading yang dihiasi Kamajaya dan Kamaratih/Wisnu dan Dewi Sri yang diikat dengan daun tebu tulak lalu dibrojolkan kebawah, setelah kelapa gading tadi dibrojolkan, lalu diputuskan menggunakan sebilah keris oleh suaminya. Setelah itu Niken Satingkeb dapat hamil dan anaknya hidup. Akhirnya sejak saat itu apabila ada orang hamil apalagi hamil pertama dilakukan tingkeban atau mitoni. Tradisi ini merupakan langkah permohonan dalam bentuk selamatan.


Prosesi Tingkepan
Prosesi yang dilakukan bukan berarti pengamalan ajaran agama Hindu tetapi bentuk transformasi ajaran Islam melalui budaya dan tradisi yang berkembang dalam ajaran Hindu yang sudah terlebih dahulu dianut masyarakat Jawa.
Pertama, siraman yang dilakukan oleh sesepuh dan suami. Sebelum acara siraman dimulai dengan pembacaan Q.S. Al-Fatihah, Al-ikhlas 3x, al-falaq 1x, an-nas 1x, dan ayat qursi 7x.Tradisi siraman ini dilakukan di belik / sumber air dengan cara memandikan wanita hamil menggunakan siwur dari kelapa, sesepuh yang bertugas menyiram sebanyak tujuh orang ditambah suaminya sendiri. Siraman merupakan gambaran agar kelahiran bayi kelak suci bersih.Tujuh berasal dari bahasa Jawa pitu, berarti pitulungun (pertolongan): agar kelak bayi dapat dilahirkan dengan mendapat pertolongan Tuhan. Setelah itu dilanjutkan dengan memasukkan telur ayam kampung ke dalam kain wanita hamil oleh sang suami melalui perut sampai menggelinding ke bawah dan pecah. Hal ini sebagai simbol dan harapan semoga bayi yang akan lahir mendapatkan kemudahan, seperti menggelindingnya telur tadi.
Sesajen siraman berupa gedang raja setangkep, tumpeng robyong, tukon pasar, umpluk-umpluk yang berisi: 1. Kuali { beras & telur }, 2. Lendi { Banyu & Gabah+dadap ayep}, 3. Jupak { minyak goring & kapas}àdisulut api: melambangkan semangat hidup. Tumpeng berisi: ayam jawa, kelapa, gula, teh. Jajan pasar
.  
Kedua, upacara ganti busana dilakukan dengan jenis kain sebanyak 7 (tujuh) buah dengan motif kain yang berbeda. Motif kain dan kemben yang akan dipakai dipilih yang terbaik dengan harapan agar kelak si bayi juga memiliki kebaikan-kebaikan yang tersirat dalam lambang kain. Motif kain tersebut adalah:

1. Wahyu Tumurun: maknanya agar bayi yang akan lahir senantiasa menjadi orang yang mendekatkan dir,i selalu mendapat Petunjuk dan perlindungan dari Allah SWT.

2. Sido Asih: maknanya agar bayi yang akan lahir menjadi orang yang selalu di cintai dan dikasihi oleh sesama serta mempunyai sifat belas kasih

3. Sidomukti.: maknanya agar bayi yang akan lahir menjadi orang yang mukti wibawa, yaitu berbahagia dan disegani karena kewibawaannya.

4. Truntum: maknanya agar keluhuran budi orangtuanya menurun (tumaruntum) pada bayi.

5. Sidoluhur: maknanya agar anak menjadi orang yang sopan dan berbudi pekerti luhur.

6. Parangkusumo: maknanya agar anak memiliki kecerdasan bagai tajamnya parang dan memiliki ketangkasan bagai parang yang sedang dimainkan pesilat tangguh. Diharapkan dapat mikul dhuwur mendhem jero, artinya menjunjung harkat dan martabat orang tua serta mengharumkan nama baik keluarga.

7. Semen Romo: maknanya agar anak memiliki rasa cinta kasih kepada sesama layaknya cinta kasihRama dan Sinta pada rakyatnya.

8. Udan Riris: maknanya agar anak dapat membuat situasi yang menyegarkan, enak dipandang, dan menyenangkan siapa saja yang bergaul dengannya.

9. Cakar Ayam: maknanya agar anak pandai mencari rezeki sehingga kebutuhan hidupnya tercukupi, syukur bisa kaya dan berlebihan.

10. Grompol: maknanya semoga keluarga tetap bersatu, tidak bercerai-berai akibat ketidakharmonisan keluarga (nggrompol : berkumpul).

 Wahyu Tumurun
Sido Asli
Sido Mukti
 Truntum
 Parang Kusumo
 Semen Romo
Udan Riris

Cakar Ayam

Grompol

Kain terakhir yang dipakai bermotif sidamukti. Makna simboliknya dapat dirunut dari makna kata sidamukti yang berarti menjadi mukti (mulia) atau bahagia. Kain sidamukti yang dikenakan diikat dengan tebu tulak / benang putih/janur kuning, kemudian ikatan tersebut dipotong oleh suami menggunakan sebilah keris. Tebu tulak lambang tolak bala, agar anak jauh dari halangan. Benang putih (lawe) simbol simpul kelahiran telah terbuka, sedangkan janur kuning yang diikatkan pada perut wanita sebagai pertanda bahwa suami istri tersebut telah mendapatkan cahaya (janur) kemenangan, yaitu akan mendapatkan amanat berupa anak. Cahaya tersebut harus diraih dengan rintangan atau kesulitan, sehingga suami harus mengatasinya dengan cara memotong janur. Pemotongan janur berarti upaya mengatasi kesulitan. Sebelum pemotongan tali dimulai dengan pembacaan Al-Fatihah dan bacaan Robbi shrohli shodri wa yassirli amri 3x.

Ketiga, Upacara brojolan atau memasukkan sepasang kelapa gading muda yang telah digambari Janaka dan Srikandi atau Komojoyo dan Komoratih ke dalam sarung dari atas perut calon ibu ke bawah. Makna simbolis dari upacara ini adalah agar kelak bayi lahir dengan mudah tanpa adanya kesulitan. Upacara brojolan dilakukan oleh nenek calon bayi (ibu dari ibu si bayi) dan diterima oleh nenek besan. Secara simbolis gambar Janaka dan Srikandi melambangkan kalau si bayi lahir akan elok rupawan dan memiliki sifat-sifat luhur seperti tokoh yang digambarkan tersebut, mereka merupakan tokoh ideal orang Jawa. Dimulai dengan al-Fatihah 3x.

Keempat, Upacara memecahkan periuk dan gayung yang terbuat dari tempurung kelapa (siwur). Maksudnya adalah memberi sawab (doa dan puji keselamatan) agar nanti kalau si ibu masih mengandung lagi, kelahirannya juga tetap mudah.

Kelima, Ibu hamil harus melakukan tradisi jual dhawet dan rujak. Yang bertugas membeli para tamu menggunakan uang buatan (kreweng) atau pecahan genteng. Uang tersebut dimasukkan ke dalam kuali dari tanah. Kuali yang berisi uang tersebut dipecah di depan pintu oleh ibu hamil. Hal ini bermakna agar kelak bayi yang lahir akan banyak mendapatkan rezeki. Sumber : http://aini.rumahatiku.com

Biasanya sebelumnya diadakan pembacaan 7 surat pilihan dalam al-qur’an yaitu yasin, al-kahfi, Yusuf, Maryam, Ad-Dhukhan, Luqman, dan Al-Mulk kemudian dilanjutkan dengan mujahadah dan ditutup dengan bacaan shrokal/marhaban dengan si ibu berjabat tangan kepada para tamu undangan. Biasanya dilakukan malam sebelum kenduren.

Keenam, yaitu kenduri sebagai syukuran. Pada saat ini, ada beberapa ubarampe (sesaji) yang biasanya perlu dipersiapkan, diantaranya: Tumpeng kuat, yaitu tumpeng berjumlah tujuh. Satu di antara tumpeng itu dibuat paling besar dan enam yang lain, diletakkan mengelilingi tumpeng besar. Bilangan tujuh menggambarkan umur bayi tujuh bulan. Sedangkan makna tumpeng kuat, sebagai lambang agar bayi yang lahir sehat wal afiat dan orangtuanya diberi kekuatan lahir dan batin. Jenang putih dan merah dipadu sebanyak 7 macam,simbol jenang putih melambangkan perempuan sedangkan jenang merah melambangkan laki-laki. Kenduren dimulai dengan pembacaan QS. Al-fatihah dan ditutup do’a oleh pemuka agama setempat.
Ketujuh, upacara menyeret tikar/ kloso bagi orang yang pertama kali keluar dari ruang kenduren/rumah, hal ini mempunyai maksud agar bayi dipermudah dalam kelahiran/keluar dari rahim.

C. Kesimpulan
Tradisi adat Jawa tujuh bulanan (tingkeban/mitoni) merupakan bagian dari budi pekerti Jawa yang memiliki makna filosofis dalam kehidupan. Dari berbagai simbol tindakan dan ritual tingkeban/mitoni tersebut tampak bahwa masyarakat Jawa memiliki harapan keselamatan. Tradisi ini memang merupakan kombinasi ajaran baik dari Hindu, Kejawen bahkan Islam. Namun, sebagaimana wawancara tradisi ini sesuai dengan nilai-nilai yang diajarkan dalam Islam, yaitu permohonan kepada Allah Swt dalam rangka keselamatan dan kebahagiaan bagi pasangan . Paling tidak, dari tradisi ini terkandung nilai-nilai filosofis dalam kehidupan, antara lain: pertama, melestarikan tradisi leluhur dalam rangka memohon keselamatan. Dalam qaedah ushul fikh disebutkan “al-muhafazhah ‘ala qadim ash-shalih, wal ahdzu bil jadidi al-ashlih” (Melestarikan tradisi lama yang baik, dan mengambil tradisi baru yang lebih baik). Kedua, menjaga keseimbangan, keselarasan, kebahagiaan, dan keselamatan (slamet, ora ono apo-apo). Ketiga, karakter masyarakat Jawa yang berpikir asosiatif. Keempat, proses penyucian diri (tazkiyatun nafsi) ketika memohon kepada Allah Swt. (Tuhan Yang Maha Kuasa).

Tradisi tujuh bulan yang ada saat ini merupakan akulturasi antara tradisi masyarkat jawa dengan ajaran agama Islam. Semua tradisi/ritual tersebut bertujuan mendoakan jabang bayi dan ibu agar selamat sampai proses melahirkan. Namun tradisi yang ada sekarang hanya dilakukan sederhana saja, semuanya kembali pada keluarga yang mempunyai hajat.

Komentar

  1. Terimakasih ,..semoga bermanfaat...

    BalasHapus
  2. bisa sertakan sumber nggak? ada buku atau apa? soalnya saya lagi butuh informasi untuk kelengkapan tugas akhir..trims

    BalasHapus
  3. Minta teks tingkeb 7 bulan/ujub jawa

    BalasHapus
  4. Suami saya meninggalkan saya dengan dua orang anak, saya berasa sangat teruk dan hampir membunuh diri kerana dia meninggalkan kami tanpa apa-apa. Saya beremosi selama ini kerana anak-anak terus bertanya saya di mana ayah. Terima kasih kepada Dr DAWN, yang saya temui di facebook yang membawa suami pulang ke rumah dan memulihkan keamanan antara kami. Pada suatu hari yang setia semasa melayari internet, saya terjumpa beberapa testimoni tentang Dr. DAWN dan saya serta-merta merasakan keperluan untuk meminta bantuannya dan saya gembira sekarang semuanya berjaya untuk saya pada akhirnya. Suami saya kini berada di rumah bersama anak-anak saya dan tidak pernah ada begitu banyak kasih sayang dan kegembiraan di rumah saya sebelum ini. Jika anda mengalami masalah yang sama,

    *Jika anda ingin hamil.

    *Jika anda ingin memulihkan keamanan dan kebahagiaan dalam perkahwinan atau hubungan anda.

    *Jika anda ingin mengubati sebarang jenis penyakit.

    *Jika anda ingin menghentikan nasib buruk atau memerlukan ritual untuk berjaya.
    Hubungi Dr DAWN, dia pasti akan membantu anda,
    E-mel: dawnacuna314@gmail.com

    WhatsApp: +2349046229159

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Upacara Adat Ammateang

Upacara Adat Ammateang Bugis Oleh : Zulkifli (12010047) Prodi Ilmu Al-Quran dan Tafsir Sekolah Tinggi Agama Islam Sunan Pandanaran Pendahuluan Keanekaragaman budaya yang ada di Indonesia harus dipandang sebagai sebuah kekayaan bukan kemiskinan. Bahwa Indonesia tidak memiliki identitas adat dan   budaya yang tunggal bukan berarti tidak memiliki jati diri, namun dengan keanekaragaman adat dan budaya yang ada membuktikan bahwa masyarakat kita memiliki kualitas produksi adat dan budaya yang luar biasa, jika mengacu pada pengertian bahwa kebudayaan adalah hasil cipta manusia. Dengan demikian adat dan Budaya amupun tradisi akan selalu mengalami dinamis dan mendapatkan akulturasi dari berbagai aspek seperti ajaran islam. Pembahasan di sini menggali sebuah adat suku bugis di pulau bagian timur tepatnya di sulawesi selatan. Adat tersebut di kenal dengan nama Upacara Adat Ammateang yang mengalami akulturasi dengan islam yang sejalan dengan perkembangan zaman. Adat Upacara Adat

Budaya Lokal dan Islam di Kabupaten Kudus

Budaya Lokal dan Islam di Kabupaten Kudus Oleh : Miftahul Karim Pendahuluan Kabupaten Kudus merupakan sebuah kabupaten di Provinsi Jawa Tengah. Ibukota kabupaten ini adalah Kudus, terletak di jalur pantai timur laut Jawa Tengah antara Kota Semarang dan Kota Surabaya. Kota ini terletak kurang lebih 51 kilometer dari timur Kota Semarang. Kabupaten kudus berbatasan dengan Kabupaten Pati di timur, Kabupaten Grobogan dan Kabupaten Demak di selatan, serta Kabupaten Jepara di barat. Kudus merupakan penghasil rokok kretek terbesar di Jawa tengah dan juga merupakan kota santri. Kota ini merupakan pusat perkembangan agama Islam pada abad pertengahan. Selain sebagai penghasil rokok kretek terbesar dan sota santri, kudus juga merupakn kabupaten yang kaya akan kebudayaannya. Seperti dandangan, buka luwur, juga bulusan, serta berbagai macam ragam daerahnya yang menarik untuk diamati dan dipelajari. PEMBAHASAN Seperti banyak daerah di Indonesia, Kabupaten kudus juga memiliki ragam kebudayaan y