Prelude
Tulisan ini bukan bermaksud untuk meniadakan sama sekali epistemologi sains al-Qur'an, namun semata sebuah perenungan pribadi yang terkadang gelisah akan keilmuan al-Qur'an. Kritik dan saran sangat terbuka untuk didiskusikan
***
Karena tafsir Ilmi ini boleh dibilang merupakan salah satu bagian dari tafsir tematis, Kita mulai dari persoalan tafsir tematis; pertama, untuk melakukan sebuah kajian tafsir tematis, paling tidak seorang mufassir harus menguasai dua aspek; wawasan tema dan wawasan al-Qur’an. hal ini gak bisa dipisahkan, karena cacat pada salah satunya artinya cacat pada kajian yang akan dilakukan. Sebagi contoh; ketika seorang mufassir memilih menuangkan pikirannya tentang hukum dalam al-Qur’an maka ia haruslah pakar dalam dua bidang; hukum dengan segala aspeknya (sejarah, filosofi, penggunaan, dampak dan lain sebagainya) . hal ini akan mempengaruhi wawasan al-Qur’an yang ia ambil. Semakin sempit wawasannya dalam aspek hukum, maka ia akan cenderung lebih sempit pula pilihan wawasan al-Qur’annya. Nah, sekarang mari bayangkan bagaimana ribetnya kalo kita membahas tema-tema yang memang –sedikit- rumit, sains misalnya.
Nah itu yang terjadi hari ini, membicarakan penciptaan alam semesta tidak merta kita bisa mengambil semua teori yang beredar di dunia ini terkait penciptaan alam semesta, kita pilihlah teori Big Bang, maka membicarakan Big Bang bukanla sekedar kita menerima berbagai cocoklogi populer di kalangan masyarakat, namun kita harus memahami benar-benar bagaimana kerja Big Bang; toeri dasar, cara kerja, hal-hal yang mempengaruhi Big Bang dan lain sebagainya harus kita pahami benar-benar secara saintifik dan mampu dipertanggung jawabkan. Baru kemudian kita menoleh pada apa yang ungkapkan al-Qur’an.
saya termasuk salah satu yang tidak langsung percaya pada berbagai cocoklogi populer yang mengaitkan teori Big Bang dengan apa yang dikatakan al-Qur’an. apa yang ditulis oleh Harun Yahya ataupun Achmad Baiquni mungkin ia sesuai dengan ungkapan al-Qur’an, namun saya melihat hal ini akan memicu persoalan tambahan; kalau memang sesuai dan kemudian dianggap itu adalah teori yang diungkap al-Qur’an, maka –dengan asumsi dasar al-Qur’an mengandung kebenaran mutlak- teori ini pun akan membawa sifat mutlak al-Qur’an, ini tentunya berbenturan dengan sifat Ilmu pengetahuan yang –harusnya- bersifat tidak mutlak, ia harus terus diuji. Nah, sebuah persoalan yang tidak asing bukan?. Persoalan selanjutnya adalah what’s next? Kalau memang teori Big Bang sesuai dengan ungkapan al-Qur’an, lalu memangnya kenapa? Apa yang bisa kita sumbangkan terhadap teori ini dengan kesesuaian dalam al-Qur’an? saya malah merasa bahwasanya al-Qur’an terlalu banyak kita intervensi dengan Ilmu Pengetahuan. Bisakah kita melakukan hal sebaliknya, kita intervensi itu teori Big Bang atau apa pun dengan menggali kekayaan al-Qur’an? saya sangat menyukai cara kerja al-Razi yang memilih untuk tetap menyatakan keterpaduan langit dan bumi (meskipun tidak sesuai dengan alam sains pada saat itu, namun secara bahasa al-Qur’an menyatakan demikian). Dengan kerangka kerja yang sama mungkin kita bisa terpakan dalam mengejawantahkan ungkapan-ungkapan al-Qur’an dalam berbagai bidang. Sehingga kita tidak hanya mampu terkagum dengan berbagai hasil kerja ilmiah yang –kebetulan– sesuai dengan al-Qur’an, kemudian kita tidak berbuat apa-apa.
Begitupun dalam berbagai aspek tematis al-Qur’an.
saya sependapat drngan agan ini, selagi ilmu pengetahuan bersesuaian dg quran berarti kita tidak perlu mengingkari ilmu tersebut
BalasHapus