Langsung ke konten utama

Nasrani dalam al-Qur’an: Sebuah Tinjauan Tartib Nuzuly

Nasrani dalam al-Qur’an: Sebuah Tinjauan Tartib Nuzuly
Oleh: Nurul
Jam’iyah Kajian al-Qur’an
Pendahuluan
Dalam kehidupan modern, apa yang (akhir-akhir ini) ditawarkan oleh agama? Banyak anggapan bahwasanya peran agama dalam kehidupan manusia modern semakin surut dan terabaikan karena manusia akan semakin nyaman dengan dunianya sendiri dan tidak membutuhkan agama untuk memenuhi kepuasannya sebagai manusia. Namun kenyataanya agama semakin memiliki peran dan mewarnai berbagai sisi kehidupan. Hanya saja dibalik kekuatan peran agama, muncul gejala-gejala tidak sehat dalam kehidupan beragama yang akrab dengan kehidupan kita hari-hari ini; radikalisme, terorisme, fanatisme buta, aksi vandal dan lain sebagainya.
Gejala yang paling menakutkan dari kehidupan beragama (mengutip Prof. Bambang Sugiharto) adalah ketakutan itu sendiri. Aktifitas beragama dalam tingkat tertentu mematikan fungsi manusia sebagai makhluk yang berpikir. Manusia menjadi takut untuk berpikir dan mempersoalkan hal-hal yang selama ini kita anggap suci (dalam nama agama). Hal ini menakutkan karena tanpa keberanian berpikir, kontradiksi-kontradiksi kehidupan beragama tak akan bisa disadari; kekonyolan-kekonyolan akan doanggap sebagai kesalehan, kebodohan dihitung sebagai kesetiaan, kekerasan dianggap sebagai aksi kepahlawanan. Fatwa-fatwa agama kemudian menjadi ruang batas berpikir manusia beragama yang semua umatnya ketakutan untuk menembus batas-batas itu. Agama tidak lagi menjadi media pembebas kemanusia.
Dalam kehidupan beragama, Islam sebagai Agama (bedakan loh ya dengan State of Mind-nya pak Sakhok) berada dalam kedudukan yang sama dengan Agama-agama lainnya; Kristen, Yahudi, Hindu, Budha, Konghucu dan lain sebagainya. Karenanya berbagai studi tentang keagamaan seharusnya menempatkan Islam, Kristen dan yang lainnya dalam posisi sejajar dan tidak diunggulkan antara satu dengan lainnya. Kecenderungan untuk mengunggulkan salah satunya hanya akan menimbulkan ketimpangan dalam kajian selanjutnya.
Sebaliknya, Kajian Agama dalam kajian kitab suci, akan selalu memiliki kecenderungan yang bersifat tendensius dalam kajiannya. Pertama, kitab suci adalah manifestasi Agama itu sendiri. Kedua, sumber-sumber keagamaan –dalam perjalanan sejarah- selalu berangkat dari asumsi dasar kebenaran Agama kita dan kekeliruan Agama mereka.
Kajian JAKAL edisi kali ini mencoba mengangkat tema Nasrani dalam al-Qur’an. Sebuah kajian Agama yang berangkat dari terma yang digunakan dalam kitab suci, Nashara. Kajian dalam al-Qur’an ini akan didasarkan pada kronologi turunya ayat-ayat yang mengandung kata nashara dalam rangka melihat bagaimana al-Qur’an berbicara mengenai kata ini.

Persebaran dan arti kata Nashara dalam al-Qur’an.
Kata nashara/nashrani banyak muncul dalam al-Qur’an, paling tidak terdapat dalam empat belas tempat; QS.al-Baqarah: 62, 111, 113, 120, 135, 140, QS. Ali Imran: 67, QS. Al-Maidah: 14, 18, 51, 69, 82, QS. Al-Taubah: 30, dan al-Hajj 17.
Dari segi nilai positif negatifnya, al-Qur’an menggunakan kata ini dalam banyak macam[1]; pertama, kadang kala dalam nuansa negatif entah kecaman, penolakan dan lain sebagainya. Hal ini bisa kita temukan dalam QS al-Baqarah: 111, 113 :
وقالوا لن يدخل الجنة إلا من كان هودا أو نصارى تلك أمانيهم قل هاتوا برهانكم إن كنتم صادقين
Dan mereka (Yahudi dan Nasrani) berkata: "Sekali-kali tidak akan masuk surga kecuali orang-orang (yang beragama) Yahudi atau Nasrani". Demikian itu (hanya) angan-angan mereka yang kosong belaka. Katakanlah: "Tunjukkanlah bukti kebenaranmu jika kamu adalah orang yang benar". (al-Baqarah 111)
وقالت اليهود ليست النصارى على شيء وقالت النصارى ليست اليهود على شيء وهم يتلون الكتاب كذلك قال الذين لا يعلمون مثل قولهم فالله يحكم بينهم يوم القيامة فيما كانوا فيه يختلفون
Dan orang-orang Yahudi berkata: "Orang-orang Nasrani itu tidak mempunyai suatu pegangan", dan orang-orang Nasrani berkata: "Orang-orang Yahudi tidak mempunyai sesuatu pegangan," padahal mereka (sama-sama) membaca Al Kitab. Demikian pula orang-orang yang tidak mengetahui, mengatakan seperti ucapan mereka itu. Maka Allah akan mengadili di antara mereka pada hari kiamat, tentang apa-apa yang mereka berselisih padanya. (QS. Al-Baqarah 113)
Hal senada bisa kita temukan di tempat tempat lainnya ; al-Baqarah: 120, 135, 140, Ali Imran 67, al-Maidah 14, 18, 51, dan at-Taubah: 30.
Kedua, al-Qur’an menggunakan kata nashara dalam konteks positif, baik berupa janji keselamatan, maupun keakraban dengan kaum muslimin. Hal ini bisa kita temukan dalam QS. Al-Baqarah: 62 :
إن الذين آمنوا والذين هادوا والنصارى والصابئين من آمن بالله واليوم الآخر وعمل صالحا فلهم أجرهم عند ربهم ولا خوف عليهم ولا هم يحزنون
Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabiin, siapa saja di antara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal shaleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati.(al-Baqarah : 62)
Al-Maidah: 82 :
لتجدن أشد الناس عداوة للذين آمنوا اليهود والذين أشركوا ولتجدن أقربهم مودة للذين آمنوا الذين قالوا إنا نصارى ذلك بأن منهم قسيسين ورهبانا وأنهم لا يستكبرون
Sesungguhnya kamu dapati orang-orang yang paling keras permusuhannya terhadap orang-orang yang beriman ialah orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrik. Dan sesungguhnya kamu dapati yang paling dekat persabahatannya dengan orang-orang yang beriman ialah orang-orang yang berkata: "Sesungguhnya kami ini orang Nasrani". Yang demikian itu disebabkan karena di antara mereka itu (orang-orang Nasrani) terdapat pendeta-pendeta dan rahib-rahib, (juga) karena sesungguhnya mereka tidak menyombongkan diri. (Q.S. al-Maidah: 82)
Kesan positif bisa kita temukan di surat yang sama ayat 69.
Ketiga, berupa pesan netral. Ini bisa kita temukan dalam satu tempat, al-Hajj: 17.
إن الذين آمنوا والذين هادوا والصابئين والنصارى والمجوس والذين أشركوا إن الله يفصل بينهم يوم القيامة إن الله على كل شيء شهيد
Sesungguhnya orang-orang beriman, orang-orang Yahudi, orang-orang Shaabi-iin, orang-orang Nasrani, orang-orang Majusi dan orang-orang musyrik, Allah akan memberi keputusan di antara mereka pada hari kiamat. Sesungguhnya Allah menyaksikan segala sesuatu.(QS. Al-Hajj: 17)
Arti kata Nashara dalam al-Qur’an mengacu pada menolong sebagaiman yang dilakukan oleh para pengikut nabi Isa sebagaimana disebutkan dalam QS. Ali Imran : 52
فلما أحس عيسى منهم الكفر قال من أنصاري إلى الله قال الحواريون نحن أنصار الله آمنا بالله واشهد بأنا مسلمون
Maka tatkala Isa mengetahui keingkaran mereka (Bani Israel) berkatalah dia: "Siapakah yang akan menjadi penolong-penolongku untuk (menegakkan agama) Allah?" Para hawariyyin (sahabat-sahabat setia) menjawab: "Kami lah penolong-penolong (agama) Allah. Kami beriman kepada Allah; dan saksikanlah bahwa sesungguhnya kami adalah orang-orang yang berserah diri.(QS. Al-Maidah; 52)
Pendapat lain mengatakan bahwasanya disebut demikian karena dinisbatkan pada sebuah tempat bernama Nashran (نصران) pendudukynya disebut Nasraniy (نصراني), dengan bentuk plural nashara (نصارى).[2]
Ibn Katsir, ketika menafsirkan Q.S al-Baqarah : 62  lebih lanjut menjelaskan Nashara adalah sebutan untuk para sahabat dan pengikut Nabi Isa, disebut demikian karena sifat mereka yang suka menolong (li tanashurihim fi ma baynahum).[3] Ibn Asyur menambahkan, nashara mengacu pada desa Nashirah (nazaret), tempat Maryam,ibunda Nabi Isa tumbuh. Menjelang kelahiran Nabi Isa, Maryam keluar dari Nazaret menuju Bayt al-Maqdis, dan akhirnya melahirkan beliau di Bayt Lahm (Betlehem).[4]
Dari sisi tartib nuzulnya[5], secara keseluruhan, ayat-ayat yang menyebut nashara secara langsung hanya terdapat di surat-surat Madaniyah. Tentang urutan-urutannya, terdapat beberapa pendapat; dalam versi Ibn Abbas dan al-Kafi, urutannya al-Baqarah, Ali Imran,al-Hajj, al-Maidah, kemudian al-Taubah. Sedangkan menurut Ikrimah dan al-Hasan:  al-Baqarah, Ali Imran, al-Maidah, al-Hajj, kemudian al-Taubah. Dari sumber kesarjanaan barat, versi urutan tartib menurut Noeldeke-Schwally adalah; al-Baqarah, Ali Imran, al-Hajj, al-Tawbah, terakhir al-Maidah. [6] Namun, dalam kesarjanaan Islam modern,  al-Jabiri memberi pendapat lain mengenai posisi surat al-Hajj.
Dari keseluruhan pola yang ada, secara garis besar memiliki pola urutan 1). Al-Baqarah, 2). Ali Imran, 3) al-Maidah, 4) al-Tawbah,  dengan surat al-Hajj di masing-masing riwayat memiliki tempat urutan yang berbeda. Ibn Abbas meletakkannya di urutan ke-3, Ikrimah meletakkannya pada urutan ke-4, Noeldeke meletakkannya pada urutan ke 3, namun semuanya bersepakat itu adalah surat Madaniyah. Abed Al-Jabiri berpendapat lain,  urutan surat dalam al-Jabiri mirip dengan para cendekiawan di atas, namun dia berbeda mengenai penempatan surat al-Hajj. Surat ini digolongkan al-Jabiri sebagai surat Makkiyah, ia dianggap turun beberapa saat menjelang hijrahnya Nabi SAW.
Implikasinya adalah, hampir keseluruhan pembicaraan al-Qur’an mengenai Nashara dalam konteks negative, hanya 4 ayat berbicara positif dan 1 netral. Ini menjelaskan pada kita bagaimana al-Qur’an berkorelasi dengan Nasrani. Sebagian besar interaksi Nabi dengan  nasrani terjadi di Madinah[7].
Dengan pola-pola ini, kita bisa melihat bagaimana sikap al-Qur’an terhadap Nashrani secara teologis. sebelum di Madinah. Di Makkah, al-Qur’an membicarakan Nasrani masih dalam konteks netral, hal ini mungkin disebabkan karena masih sedikitnya interaksi Nabi dengan mereka sehingga Nabi hanya sedikit tahu mengenai mereka.[8] Sehingga yang muncul hanya baru satu ayat. Baru kemudian di Madinah, al-Qur’an mulai berinteraksi secara penuh dengan berbagai konflik dan dukungannya yang tersebar dalam 13 ayat lainnya.
Daftar Pustaka
Al-Ashfahani, Al-Raghib,  Mu’jam Mufaradat al-fazh al-Qur’an, Beirut: Dar al-Fikr, tt,
Al-Bashri, Abu al-Fida Ismail bin Umar bin Katsir al-Qurasyi, Tafsir al-Qur’an al-Azhim, DVD ROM,  Maktabah Suamilah.
Al-Tunisi, Muhammad Thahir bin Muhammad bin Muhammad Thahir bin Asyur, al-Tahrir wa al-Tanwir, DVD ROM, Maktabah Syamilah.
Amal, Taufuk,  Adnan , Rekonstruksi Sejarah al-Qur’an, Yogyakarta: FkBA, 2001
Manzhur, Ibn,  Lisah al-Arab DVD ROM, Maktabah Syamilah.
Sirry, Mun’im,  Reformist Muslims Aproach to the Polemics of the Qur’an Against Other Religion, terj. R. Cecep Lukman Yasin, Jakarta: Gramedia, 2012.
Syihab, M. Quraish,  membaca sirah Nabi Muhammad, Jakarta: Lentera Hati, 2011.
______, Tafsir al-Mishbah, Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, Vol. 3, Jakarta: Lentera Hati, 2002.



[1] M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, Vol. 3, Jakarta: Lentera Hati, 2002, 217.
[2] Al-Raghib al-Ashfahani, Mu’jam Mufaradat al-fazh al-Qur’an, Beirut: Dar al-Fikr, tt, 516. Lihat juga Ibn Manzhur, Lisah al-Arab DVD ROM, Maktabah Syamilah.
[3] Abu al-Fida Ismail bin Umar bin Katsir al-Qurasyi al-Bashri, Tafsir al-Qur’an al-Azhim, DVD ROM, Maktabah Syamilah. Lebih lanjut dijelaskan, dengan terutusnya Nabi Muhammad, maka orang-orang ini harusla (wajaba alayhim) beriman dan membenarkan kersulan Beliau
[4] Muhammad Thahir bin Muhammad bin Muhammad Thahir bin Asyur al-Tunisi, al-Tahrir wa al-Tanwir, DVD ROM, Maktabah Syamilah.
[5] Tidak ada kesepakatan para ulama mengenai rincian urutan turunnya berbagai surat dalam al-Qur’an. Di sini penulis hanya mencoba memberikan penekanan pada ayat-ayat nashara. adapun polemik mengenai tartib nuzul seluruh surat dalam al-Qur’an bisa dibahas di lain tempat.
[6] Taufuk Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah al-Qur’an, Yogyakarta: FkBA, 2001, hal. 87-105
[7] Ada perbedaan konteks pemibcaraan penting  dalam pembedaan al-Quran dalam Makkiyah dan Madaniyah ini, di makkah misalnya, al-Qur’an kebanyakan mengarahkan gugatan dan polemiknya terhadap kaum musyrikin Makkah. Sedangkan Madaniyah, dengan objek interaksi yang berbeda, di Madinah, mulai berinteraksi dengan ahl al-Kitab (Yahudi Nasrani), dari sinilah mulai muncul banyak kata Nashara.Lihat Mun’im Sirry, Reformist Muslims Aproach to the Polemics of the Qur’an Against Other Religion, terj. R. Cecep Lukman Yasin, Jakarta: Gramedia, 2012, hal. 17-18.
[8] Meskipun di Makkah terdapat beberapa orang yang dianggap sebagai golongan Nasrani seperti Waraqah bin Naufal, Utsman bin Huwairits, dll. namun jumlahnya masih sangat sedikit. Lihat M. Quraish Syihab, membaca sirah Nabi Muhammad, Jakarta: Lentera Hati, 2011, hal. 106.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Upacara Adat Ammateang

Upacara Adat Ammateang Bugis Oleh : Zulkifli (12010047) Prodi Ilmu Al-Quran dan Tafsir Sekolah Tinggi Agama Islam Sunan Pandanaran Pendahuluan Keanekaragaman budaya yang ada di Indonesia harus dipandang sebagai sebuah kekayaan bukan kemiskinan. Bahwa Indonesia tidak memiliki identitas adat dan   budaya yang tunggal bukan berarti tidak memiliki jati diri, namun dengan keanekaragaman adat dan budaya yang ada membuktikan bahwa masyarakat kita memiliki kualitas produksi adat dan budaya yang luar biasa, jika mengacu pada pengertian bahwa kebudayaan adalah hasil cipta manusia. Dengan demikian adat dan Budaya amupun tradisi akan selalu mengalami dinamis dan mendapatkan akulturasi dari berbagai aspek seperti ajaran islam. Pembahasan di sini menggali sebuah adat suku bugis di pulau bagian timur tepatnya di sulawesi selatan. Adat tersebut di kenal dengan nama Upacara Adat Ammateang yang mengalami akulturasi dengan islam yang sejalan dengan perkembangan zaman. Adat Upacara Adat

Selamatan Tujuh Bulanan (Tingkeban)

Selamatan Tujuh Bulan / Tingkeban Mufijatul Hasanah/ 12010028 Islam Budaya Lokal/ M. Sidqi, M. Hum Sekolah Tinggi Agama Islam Sunan Pandanaran A. Pendahuluan Proses terjadinya manusia merupakan peristiwa yang sangat menakjubkan, sebagai tanda keagungan Sang Pencipta. Berwujud dari benda yang tak bernilai /sperma secara bertahap berubah hingga akhirnya sempurna dan lengkap dengan anggota badan yang tersusun rapi dan rumit, bahkan dilengkapi dengan akal pikiran, budi pekerti dan perasaan. Ajaran Islam bisa dinyatakan telah kuat jika sudah mentradisi ditengah masyarakat muslim, sehingga tradisi menjadi sangat menentukan dalam keberlangsungan ajaran disaat tradisi itu telah menyatu dengan ajaran, karena tradisi merupakan darah daging dalam tubuh masyarakat, sementara mengubahnya adalah sesuatu yang sangat sulit, maka sangatlah bijaksana ketika tradisi tidak diposisikan berhadapan dengan ajaran, tetapi sebagai pintu masuk suatu ajaran. Dalam makalah ini sekilas dibahas tentang

Budaya Lokal dan Islam di Kabupaten Kudus

Budaya Lokal dan Islam di Kabupaten Kudus Oleh : Miftahul Karim Pendahuluan Kabupaten Kudus merupakan sebuah kabupaten di Provinsi Jawa Tengah. Ibukota kabupaten ini adalah Kudus, terletak di jalur pantai timur laut Jawa Tengah antara Kota Semarang dan Kota Surabaya. Kota ini terletak kurang lebih 51 kilometer dari timur Kota Semarang. Kabupaten kudus berbatasan dengan Kabupaten Pati di timur, Kabupaten Grobogan dan Kabupaten Demak di selatan, serta Kabupaten Jepara di barat. Kudus merupakan penghasil rokok kretek terbesar di Jawa tengah dan juga merupakan kota santri. Kota ini merupakan pusat perkembangan agama Islam pada abad pertengahan. Selain sebagai penghasil rokok kretek terbesar dan sota santri, kudus juga merupakn kabupaten yang kaya akan kebudayaannya. Seperti dandangan, buka luwur, juga bulusan, serta berbagai macam ragam daerahnya yang menarik untuk diamati dan dipelajari. PEMBAHASAN Seperti banyak daerah di Indonesia, Kabupaten kudus juga memiliki ragam kebudayaan y