Langsung ke konten utama

Angelika Neuwirth; Sebuah catatan seminar di UIN SUKA

Angelika Neuwirth;
Sebuah catatan seminar di UIN SUKA
 
Lailatukum al-sa’iidah
Yak dalam catatan edisi kali ini, saya nyoba ngasih gambaran tentang jalannya acara aja ya. Anggaplah ini adalah oleh-oleh saya pribadi, menahan dinginnya ac gak di bis dan di ruangan, maklum, meski suka hujan, tapi termasuk tipe-tipe tidak terlalu suka dinginnya ac
Ma al-awwal?
Menarik pengantar dari om mustaqim (beberapa bukunya saya pinjem dari mas anwar –itu juga pus pinjem dari pak mahfuzh, sori pak), ada tiga tipe kajian studi al-Qur’an orientalisme ; kritisisme, interpretatif, kalo gak salah satunya sosio-antropologis. Kira-kira tipenya seperti itu. Kritisisme bisa dibilang orinetasi pertama kajian al-Qur’an di barat, berawal dari upaya kajian kritis terhadap al-Qur’an terutama dalam hal orisinalitasnya. Adapun interpretatif sifatnya lebih moderat lah, kajiannya gak kejem-kejem amat, gak lagi bertumpu pada hal-hal kajian orisinalitas, namun lebih pada proses pemaknaan dan interpretasi para pengkaji terhadap al-Qur’an. Untuk satunya lagi saya lupa, mungkin yang berkesempatan tanya mbah gugel bisa di share di sini
Sebagai pengantar, pemaparan di atas seolah ingin mengingatkan para audiens pada kira-kira tipe seperti itulah yang membentuk pemikiran mbah sayyidah Angelika Neuwirth. mengingat memang dari belahan “sana”lah sayyidah mengkaji al-Qur’an, tentunya nuansa akademis yang diusungnya pun berwarna barat-eropah.
sayyidah satu ini hari itu mempresentasikan materi “al-Qur’an dan historical-literary Criticisme”. Kurang lebih artinya  al-Qur’an dan Kritik Historis-Literal. Meski judulnya serta pengantar acaranya menggunakan bahasa inggris, tapi alhamdulillah peresentasinya menggunakan bahasa arab.
Pembacaan al-Qur’an secara kritik historis literal yang didalami oleh Angelika menekankan pada fakta sejarah teks yang ada pada masa seputar kemunculan al-Qur’an. Sayyidah menyebutkan umpamanya beberapa hasil penelitiannya terhadap manuskrip al-Qur’an shan’a yang masih dalam tahap penelitian, beliau mengungkapkan belum menemukan perbedaan yang terlalu signifikan-meski memang terdapat beberapa perbedaan dengan Mushaf Utsmani saat ini. dari kajian ini juga diungkap beberapa temuan lain seputar manuskrip-manuskrip, pengungkapan makna suatu kata, tipologi syi’ir dan lain sebagainya .
Penekanan tema yang dipresentasikan –dalam tangkapan sederhana saya- pada upaya sayyidah untuk mengungkap fakta-fakta sejarah seputar al-Qur’an. Banyak yang beliau bidik, diantaranya persoalan waktu kemunculan al-Qur’an dalam masa late antiquity, al-qadim al-mutaakhkhir,  ada sisi menarik yang bisa ditarik dari sana (lebih jelasnya bisa baca di artikel mbak Lien Iffah Naf’atu Fiena). Dari sana kemudian bergerak pada usaha untuk menggali variasi, atau lebih tepatnya kronologi perubahan makna beberapa kata dalam bahasa arab sebelum dan sesudah kemunculan al-Qur’an. Seperti perubahan kata wahy yang kalo sebelum al-Qur’an bermakna ilham Jinny ato semacam bisikan setan, ketika kata wahy digunakan oleh al-Qur’an, ia bertransformasi menjadi ilham Ilahy. Tipologi syi’ir pun begitu, ada pergeseran kecenderungan tema-tema syi’ir arab sebelum dan sesudah turunnya al-Qur’an, dari yang semula bernuansa pesimistis-duniawi, menjadi lebih berwarna optimistis-ukhrawi.
Di sesi selanjutnya, sayyidah memberi pesan kepada hadirin untuk tetap bersemangat melakukan kajian al-Qur’an sesuai dengan kemampuan masing-masing. Biarlah barat-orientalis  bergerak dengan kajian al-Qur’an yang telah didalaminya, dan Ilmuwan muslim bergerak dengan tipenya sendiri. Sehingga memungkinkan nanti, kedua kutub studi al-Qur’an ini mungkin bertemu di suatu titik.
Dalam tafsiran sederhana saya, seyogyanya kajian al-Qur’an kita seharusnya bukanlah bentuk reaksi atas kajian al-Qur’an di barat, sebagaimana banyak terjadi pada beberapa bentuk kajian al-Qur’an yang berkembang di tanah air. Jadikan kajian al-Qur’an  yang sudah ada sebagai salah satu bentuk kekayaan khazanah tafsir.
Sebenernya masih banyak yang sayyidah sampaikan, tapi berhubung terkendala keterbatasan bahasa dan emang dalam beberapa hal gak paham sih.. akhirnya hanya ini catatan yang bisa disampaikan.
Ta’liq
Kesan anda terhadap Sayyidah Angelika Neuwirth? emmmmmm..... genius, bahasa arabnya bikin orang pengen naik haji :D
Itu sayyidah maksudnya apa? Sayyidah à Sayyidati à Siti, kira-kira begitulah
Kok banyak banget disebut sayyidah? Saya terbawa suasana forum yang memanggil beliau begitu
Siapa saja yang dateng? Anggota Jakal tercinta
Komentar terhadap jalannya forum? Oh... akhirnya bisa nemu presentasi karya ilmiyah dalam bahasa arab, live lagi.
Sleman, 23 November 2013

Komentar

  1. 2013 saya yang di UIN belum begitu paham dengan Angelika Neuwirth. Sekarang baru memahaminya. wah ternyara dia pernah ke UIN juga, pantesan pak Sahiron Syamsuddin keliharan akrab dengan tokoh yang satu ini setiap pertemuan di kelas.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Upacara Adat Ammateang

Upacara Adat Ammateang Bugis Oleh : Zulkifli (12010047) Prodi Ilmu Al-Quran dan Tafsir Sekolah Tinggi Agama Islam Sunan Pandanaran Pendahuluan Keanekaragaman budaya yang ada di Indonesia harus dipandang sebagai sebuah kekayaan bukan kemiskinan. Bahwa Indonesia tidak memiliki identitas adat dan   budaya yang tunggal bukan berarti tidak memiliki jati diri, namun dengan keanekaragaman adat dan budaya yang ada membuktikan bahwa masyarakat kita memiliki kualitas produksi adat dan budaya yang luar biasa, jika mengacu pada pengertian bahwa kebudayaan adalah hasil cipta manusia. Dengan demikian adat dan Budaya amupun tradisi akan selalu mengalami dinamis dan mendapatkan akulturasi dari berbagai aspek seperti ajaran islam. Pembahasan di sini menggali sebuah adat suku bugis di pulau bagian timur tepatnya di sulawesi selatan. Adat tersebut di kenal dengan nama Upacara Adat Ammateang yang mengalami akulturasi dengan islam yang sejalan dengan perkembangan zaman. Adat Upacara Adat

Selamatan Tujuh Bulanan (Tingkeban)

Selamatan Tujuh Bulan / Tingkeban Mufijatul Hasanah/ 12010028 Islam Budaya Lokal/ M. Sidqi, M. Hum Sekolah Tinggi Agama Islam Sunan Pandanaran A. Pendahuluan Proses terjadinya manusia merupakan peristiwa yang sangat menakjubkan, sebagai tanda keagungan Sang Pencipta. Berwujud dari benda yang tak bernilai /sperma secara bertahap berubah hingga akhirnya sempurna dan lengkap dengan anggota badan yang tersusun rapi dan rumit, bahkan dilengkapi dengan akal pikiran, budi pekerti dan perasaan. Ajaran Islam bisa dinyatakan telah kuat jika sudah mentradisi ditengah masyarakat muslim, sehingga tradisi menjadi sangat menentukan dalam keberlangsungan ajaran disaat tradisi itu telah menyatu dengan ajaran, karena tradisi merupakan darah daging dalam tubuh masyarakat, sementara mengubahnya adalah sesuatu yang sangat sulit, maka sangatlah bijaksana ketika tradisi tidak diposisikan berhadapan dengan ajaran, tetapi sebagai pintu masuk suatu ajaran. Dalam makalah ini sekilas dibahas tentang

Budaya Lokal dan Islam di Kabupaten Kudus

Budaya Lokal dan Islam di Kabupaten Kudus Oleh : Miftahul Karim Pendahuluan Kabupaten Kudus merupakan sebuah kabupaten di Provinsi Jawa Tengah. Ibukota kabupaten ini adalah Kudus, terletak di jalur pantai timur laut Jawa Tengah antara Kota Semarang dan Kota Surabaya. Kota ini terletak kurang lebih 51 kilometer dari timur Kota Semarang. Kabupaten kudus berbatasan dengan Kabupaten Pati di timur, Kabupaten Grobogan dan Kabupaten Demak di selatan, serta Kabupaten Jepara di barat. Kudus merupakan penghasil rokok kretek terbesar di Jawa tengah dan juga merupakan kota santri. Kota ini merupakan pusat perkembangan agama Islam pada abad pertengahan. Selain sebagai penghasil rokok kretek terbesar dan sota santri, kudus juga merupakn kabupaten yang kaya akan kebudayaannya. Seperti dandangan, buka luwur, juga bulusan, serta berbagai macam ragam daerahnya yang menarik untuk diamati dan dipelajari. PEMBAHASAN Seperti banyak daerah di Indonesia, Kabupaten kudus juga memiliki ragam kebudayaan y