Langsung ke konten utama

Islam dan Budaya Dayak



ISLAM DAN BUDAYA DAYAK
Tradisi Penguburan Suku Dayak Kalimantan Tengah
Oleh:
Sri Wahyuni
12010045
Ilmu al-Qur’an dan Tafsir
Sekolah Tinggi Agama Islam Sunan Pandanaran

Pendahuluan
Kebudayaan adalah salah satu aset penting bagi sebuah Negara berkembang. Dalam hal ini suku Dayak Kalimantan yang mengedepankan budaya leluhurnya, sehingga kebudayaan tersebut sebagai ritual ibadah mereka dalam menyembah sang pencipta yang dilatarbelakangi kepercayaan tradisional yang disebut Kaharingan.
Sebagai bukti ragam budaya Indonesia yaitu tradisi Tiwah salah satu kebudayaan masyarakat Dayak Ngaju Propinsi Kalimantan Tengah yang pada mulanya sebuah tradisi kepercayaan masyarakat Kaharingan.
Dan masyarakat Dayak Barito umumnya didaerah Kalimantan menganut ajaran Islam. Salah satu bahasa Dayak yang dipakai oleh daerah Kalimantan yaitu bahasa Islam Bakumpai. Istilah "Dayak" ini paling umum digunakan untuk menyebut orang-orang asli non-Muslim, non-Melayu yang tinggal di pulau Kalimantan, karena di Indonesia ada suku-suku Dayak yang Muslim namun tetap termasuk kategori Dayak walaupun beberapa diantaranya disebut dengan Suku Banjar dan Suku Kutai.
Menurut Lindblad, kata Dayak berasal dari kata daya yang berasal dari bahasa Kenyah yang berarti hulu sungai atau pedalaman. Adapula yang menyebutkan Dayak atau Daya yaitu ejaan lama, Dayak atau Daya adalah nama yang oleh penduduk pesisir pulau Borneo diberi kepada penghuni pedalaman yang mendiami Pulau Kalimantan (Brunei, Malaysia yang terdiri dari Sabah dan Sarawak, serta Indonesia yang terdiri dari Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Selatan). Adapun sebelum adanya budaya masyarakat Dayak, dahulu masih dinamakan Budaya Maritim atau bahari(zaman dahulu), dan hampir semua nama sebutan orang Dayak mempunyai arti sebagai sesuatu yang berhubungan dengan "perhuluan" atau sungai.
Asal Usul Suku Dayak       
Suku Dayak adalah suku asli Kalimantan yang hidup berkelompok yang tinggal di pedalaman, gunung, dan sebagainya. Kata Dayak sendiri sebenarnya diberikan oleh orang-orang Melayu yang datang ke Kalimantan.
Asal-usul suku Dayak (Bakumpai) yang dikelompokkan sebagai salah satu sub etnik dari ras Kahayan, yang berasal dari suatu desa yang juga menyandang nama Bakumpai di hulu sungai Barito. Mereka menyebar ke Selatan mendiami sepanjang sungai Barito, berbelok ke sungai Kahayan dan sungai Mentaya (Sampit) sampai ke Tumbang Samba (Kasongan), Kalimantan Tengah. Dalam persebaran itu etnik Bakumpai bertemu dengan suku Melayu.

 Suku Dayak 1800an
                        
Gambar 2Suku Dayak Tahun 1890

Gambar 3 Suku Dayak tahun 1990
        
 Gambar 4 Suku Dayak tahun 2000
                        Pada abad ke-15 Banua Dayak (Bakumpai) belum ada. Baru pada awal abad ke-16 (1525) bermula dengan datangnya sebuah jukung (perahu) dari arah Barat sungai Barito yang didayung satu keluarga terdiri dari lima orang, dua laki-laki dan tiga perempuan. Ciri orang tersebut kulit dan rambut berwarna kemerah-merahan (pirang), sehingga disebut Datu’ Habang Rambut (Datu’ Bahandang Balau).
Selama waktu puluhan tahun mulailah orang-orang berdatangan, dan tidak heran tempat itu menjadi perkampungan yang dalam bahasa Dayak (Bakumpai) disebut Lebu (Banua). Dan selama puluhan tahun itu pula mereka hidup bertetangga, aman, rukun dan damai. Seiring dengan berjalannya waktu perkampungan tersebut berkembang, dan pada suatu malam Banua Dayak tersebut terbakar dan menghabiskan semua rumah, dan semua perkampungan habis terbakar. Kemudian penduduk tersebut yang tadinya saling rukun, aman dan damai, akhirnya saling bertengkar dan berkelahi. Semua penyebab tersebut datangnya dari pihak luar yang menghasut suku Dayak. Kemudian suku Dayak pun bercerai berai. Dan kemudian berpindah tidak jauh dari lokasi tersebut, disanalah suku Dayak membuka perkampungan baru, kemudian perkampungan tersebut berkembang.
Sejarah dan Perkembangan Islam ke Daerah Suku Dayak
Pada zaman dahulu, sekitar abad ke 15 Mandomai dan pada umumnya Kalimantan Tengah masih tergolong tempat yang masih murni yaitu hutan belantara dan belum tersentuh oleh para pendatang. Penduduk aslinya ialah Suku Dayak Ngaju yaitu suku Dayak yang mendiami sepanjang bantaran sungai Kapuas, dan kepercayaan yang di anut oleh suku Dayak pun masih kepercayaan nenek moyang yaitu Kaharingan yang artinya "Kehidupan". Suku Dayak Ngaju pada zaman dahulu merupakan salah satu suku terkuat yang melakukan budaya "Kayau" atau budaya berburu kepala.
Rumah tempat tinggal suku Dayak Ngaju pada zaman dahulu ialah Rumah Betang atau dalam bahasa Dayak Ngaju Kapuas di sebut "Huma hai". Rekonstruksi rumah tersebut seperti rumah panggung pada umumnya, mempunyai tiang rumah yang tinggi kira-kira 10 meter dan lebar rumah sekitar 50 meter. Maksud orang Dayak pada zaman dahulu dengan mendirikan rumah tinggi ialah untuk menghindari dari bahaya seperti binatang buas, banjir dan budaya kayau. Dan rumah Betang biasanya di huni 20 bahkan sampai 100 kepala keluarga, tergantung dari ukuran rumah Betang tersebut. Dan masyarakatnya pun pada masa itu masih tergolong primitif, menggunakan baju dari anyaman rotan, kulit kayu maupun kulit hewan. Kemudian kegiatan masyarakatnya pun masih tergolong sederhana seperti berburu, nelayan sungai dan bertani.

Gambar 5. Rumah Adat Suku Dayak yang dihuni oleh 20 Orang
                


Gambar 6. Rumah Adat yang dihuni oleh 10 Orang
Selain itu budaya Dayak yang masih dipegang teguh oleh masyarakat tersebut masih murni seperti kepercayaan Kaharingan, tiwah (upacara kematian suku Dayak Ngaju), Ciri - ciri fisik orang Dayak Ngaju zaman dulu ialah berkulit putih, bermata sipit, tubuh tegap, menggunakan kalung dari taring binatang buas, dan menggunakan hiasan kepala baik ikat kepala maupaun dari anyaman rotan yang dihiasi dengan bulu burung dan senjata tradisionalnya berupa Mandau, Tombak, Sumpit, dll.
Seperti penyebaran Islam yang ada di daerah umum lainnya, Suku Dayak mulai memeluk agama Islam pada awal tahun 1688 melalui penyebar agama Islam dari Demak. Dan Islam masuk ke daerah suku dayak melewati jalur perniagaan, pedagang dari daerah Kuin, Bandarmasih (Banjarmasin) KAL- SEL yang sudah terlebih dahulu memeluk Agama Islam, da kemudian mensyiarkan Islam sambil melakukan aktifitas perdagangannya, diperkirakan Islam masuk ke daerah suku Dayak sekitar abad ke-18, dan akhirya para penghuni “huma hai” pun tertarik dengan ajaran Islam yang menurut mereka sangat relevan dengan kehidupan manusia, penyebaran Islam begitu pesat di daerah suku Dayak, hal ini terbukti dari adanya pembauran budaya setempat dengan corak budaya Islam, seperti nisan makam yang berbentuk tinggi seperti sapundu (titian menuju surga menurut ajaran agama Kaharingan) berukirkan kaligrafi arab di sebuah makam seorang penghuni “huma hai”.
Tradisi Penguburan Suku Dayak
Tradisi penguburan dan upacara adat kematian pada suku bangsa Dayak diatur tegas dalam hukum adat. Sistem penguburan tersebut beragam sejalan dengan sejarah panjang kedatangan manusia di Kalimantan. Dalam sejarahnya terdapat tiga budaya penguburan di Kalimantan :
  • penguburan tanpa wadah dan tanpa bekal, dengan posisi kerangka dilipat
  • penguburan di dalam peti batu
  • penguburan dengan tempat yang terbuat dari kayu, anyaman bambu, atau anyaman tikar. Dan tradisi penguburan ini merupakan sistem penguburan yang terakhir berkembang.
Dan masyarakat Dayak Ngaju (Kalimantan Tengah) mengenal tiga cara penguburan, yaitu:
  • dikubur dalam tanah
  • diletakkan di pohon besar
  • dikremasi dalam upacara tiwah.
 Gambar 7 Tradisi Penguburan diletakkan di Pohon Besar Sebelum Islam Masuk
          

 Gambar 8 Upacara Tiwah
 


Gambar 9 Tradisi Penguburan Suku Dayak setelah Islam Masuk

Upacara Tiwah merupakan acara adat suku Dayak. Tiwah merupakan upacara yang dilaksanakan untuk pengantaran tulang orang yang sudah meninggal ke Sandung yang sudah di buat. Sandung adalah tempat yang semacam rumah kecil yang memang dibuat khusus untuk mereka yang sudah meninggal dunia. Dan tiwah adalah prosesi penguburan sekunder pada penganut Kaharingan, sebagai simbol pelepasan arwah menuju lewu tatau (alam kelanggengan) yang dilaksanakan setahun atau beberapa tahun setelah penguburan pertama di dalam tanah.
Dan tradisi kematian suku Dayak Ngaju yang ada di Kalimantan Tengah yaitu dengan cara, mengantarkan orang yang telah meninggal dunia ke alam keabadiaan dengan pelaksanaan wara. Pelaksanaan wara bisa langsung dilaksanakan setelah penguburan selesai, apabila pihak dari keluarga mampu melaksanakannya. Tetapi apabila pihak dari keluarga tidak mampu untuk melaksanakan upacara wara tersebut, maka bisa ditunda sampai pihak keluarga mampu untuk melaksanakannya.
Upacara wara setelah kematian ini terdiri atas:
·         wara 1 hari 1 malam
·         wara 3 hari 3 malam
·         wara 7 hari 7 malam
·         wara 9 hari 9 malam
·         dan wara 14 hari 14 malam.
Dalam upacara wara tersebut tergantung kemampuan dari pihak keluarga yang meninggal. Apabila pihak keluarga telah melaksanakan wara 1 hari 1 malam, maka pihak dari keluarga telah dianggap selesai melaksanakan tanggung jawabnya kepada arwah yang telah meinggal, karena menurut kepercayaan suku Dayak roh tersebut telah berkumpul dengan saudara-saudaranya yang telah terlebih dahulu meninggal mendahuluinya.
Kesimpulan
                  Sebagian masyarakat suku dayak pada dasarnya masih sangat menghargai kebudayaan tersebut dan juga sangat menghormati leluhur mereka, karena dalam kehidupan mereka sangat percaya pada leluhur mereka, apapun yang ditinggalkan oleh leluhur mereka itulah yang wajib dikerjakan, dan mereka beranggapan bahwa bila tidak dijalankan maka akan ada bencana bagi keluarga mereka dan juga orang yang ada disekitar mereka.
                  Dan kemudian setelah islam pun masuk kedalam daerah bangsa suku Dayak, tradisi dan budaya  itupun masih ada, dan masih dilestarikan di daerah pedalaman suku Dayak. Hanya saja cara dari tradisi dan kebudayaan tersebut di rubah, yang tadinya di isi dengan perjudian, kini digantikan dengan cara yang bernuansa islami.

Komentar

  1. dayak jgn maumpati penipu kafir lah..

    BalasHapus
  2. ingati ja. jgn mamaksa ne aku cagar pakai kekerasan. binatang-binatang itu liwar muntung burit hayamnya di belakang sorang apalagi di internet, dimanakah sembunyi tu kafir.

    BalasHapus
  3. Emperor Casino: Play'n GO
    Emperor Casino is a virtual online casino, with a variety of 1xbet payment options 제왕 카지노 including a safe banking option, a หาเงินออนไลน์ no-deposit bonus and an instant play

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Upacara Adat Ammateang

Upacara Adat Ammateang Bugis Oleh : Zulkifli (12010047) Prodi Ilmu Al-Quran dan Tafsir Sekolah Tinggi Agama Islam Sunan Pandanaran Pendahuluan Keanekaragaman budaya yang ada di Indonesia harus dipandang sebagai sebuah kekayaan bukan kemiskinan. Bahwa Indonesia tidak memiliki identitas adat dan   budaya yang tunggal bukan berarti tidak memiliki jati diri, namun dengan keanekaragaman adat dan budaya yang ada membuktikan bahwa masyarakat kita memiliki kualitas produksi adat dan budaya yang luar biasa, jika mengacu pada pengertian bahwa kebudayaan adalah hasil cipta manusia. Dengan demikian adat dan Budaya amupun tradisi akan selalu mengalami dinamis dan mendapatkan akulturasi dari berbagai aspek seperti ajaran islam. Pembahasan di sini menggali sebuah adat suku bugis di pulau bagian timur tepatnya di sulawesi selatan. Adat tersebut di kenal dengan nama Upacara Adat Ammateang yang mengalami akulturasi dengan islam yang sejalan dengan perkembangan zaman. Adat Upacara Adat

Selamatan Tujuh Bulanan (Tingkeban)

Selamatan Tujuh Bulan / Tingkeban Mufijatul Hasanah/ 12010028 Islam Budaya Lokal/ M. Sidqi, M. Hum Sekolah Tinggi Agama Islam Sunan Pandanaran A. Pendahuluan Proses terjadinya manusia merupakan peristiwa yang sangat menakjubkan, sebagai tanda keagungan Sang Pencipta. Berwujud dari benda yang tak bernilai /sperma secara bertahap berubah hingga akhirnya sempurna dan lengkap dengan anggota badan yang tersusun rapi dan rumit, bahkan dilengkapi dengan akal pikiran, budi pekerti dan perasaan. Ajaran Islam bisa dinyatakan telah kuat jika sudah mentradisi ditengah masyarakat muslim, sehingga tradisi menjadi sangat menentukan dalam keberlangsungan ajaran disaat tradisi itu telah menyatu dengan ajaran, karena tradisi merupakan darah daging dalam tubuh masyarakat, sementara mengubahnya adalah sesuatu yang sangat sulit, maka sangatlah bijaksana ketika tradisi tidak diposisikan berhadapan dengan ajaran, tetapi sebagai pintu masuk suatu ajaran. Dalam makalah ini sekilas dibahas tentang

Budaya Lokal dan Islam di Kabupaten Kudus

Budaya Lokal dan Islam di Kabupaten Kudus Oleh : Miftahul Karim Pendahuluan Kabupaten Kudus merupakan sebuah kabupaten di Provinsi Jawa Tengah. Ibukota kabupaten ini adalah Kudus, terletak di jalur pantai timur laut Jawa Tengah antara Kota Semarang dan Kota Surabaya. Kota ini terletak kurang lebih 51 kilometer dari timur Kota Semarang. Kabupaten kudus berbatasan dengan Kabupaten Pati di timur, Kabupaten Grobogan dan Kabupaten Demak di selatan, serta Kabupaten Jepara di barat. Kudus merupakan penghasil rokok kretek terbesar di Jawa tengah dan juga merupakan kota santri. Kota ini merupakan pusat perkembangan agama Islam pada abad pertengahan. Selain sebagai penghasil rokok kretek terbesar dan sota santri, kudus juga merupakn kabupaten yang kaya akan kebudayaannya. Seperti dandangan, buka luwur, juga bulusan, serta berbagai macam ragam daerahnya yang menarik untuk diamati dan dipelajari. PEMBAHASAN Seperti banyak daerah di Indonesia, Kabupaten kudus juga memiliki ragam kebudayaan y