Tradisi Kupatan (Lomban)
di Jepara
Oleh:
Awwalatur
Rohmaniyyah
(12010007)
Program Studi Ilmu
Al Qur’an dan Tafsir
Sekolah Tinggi
Agama Islam Sunan Pandanaran
Pendahuluan
Setiap tradisi yang mampu bertahan lama, pastilah melalui
proses evolusi kebudayaan yang panjang dan memiliki kesamaan akan historis.
Evolusi yang diikuti akulturasi itu, pada akhirnya menimbulkan keselarasan dan
kecocokan dengan masyarakat penganutnya. Begitu halnya dengan tradisi kupatan
atau lomban di Jepara.[1]
Jepara sebagai kota yang mayoritas penduduknya berprofesi
sebagai nelayan selain sebagai pengrajin seni ukir (mebel) juga mempunyai satu
tradisi warisan leluhur yang masih disakralkan hingga kini yaitu Tradisi
Syawalan( kupatan) atau biasa disebut Pesta Lomban. Masyarakat Jepara menganggap
Pesta Lomban menjadi sebuah upacara ritual tahunan yang sakral dan memberikan
kekuatan spiritual yang kuat bagi para nelayan untuk kembali melaut mencari
nafkah dan merupakan ritual penolak balak di lautan, sehingga merasa nyaman
dalam bekerja.
Sejarah Pesta Lomban
Pesta lomban itu sendiri telah
berlangsung lebih dari 1 (satu) abad yang lampau. Berita ini bersumber dari
tulisan tentang lomban yang dimuat dalam Kalawarti/Majalah berbahasa Melayu
bernama Slompret Melayu yang terbit di Semarang pada paruh kedua abad XIX edisi
tanggal 12 dan 17 Agustus 1893 yang menceritakan keadaan lomban pada waktu itu,
dan ternyata tidak berbeda dengan apa yang dilaksanakan masyarakat sekarang. Diceritakan
dalam pemberitaan tersebut, bahwa pusat keramaian pada waktu itu berlangsung di
teluk Jepara dan berakhir di Pulau Kelor. Pulau Kelor sekarang adalah komplek
Pantai Kartini atau taman rekreasi Pantai Kartini yang kala itu masih terpisah
dengan daratan di Jepara. Karena pendangkalan, maka lama kelamaan antara Pulau
Kelor dan daratan Jepara bergandeng menjadi satu. Pulau Kelor (sekarang Pantai
Kartini) dahulu pernah menjadi kediaman seorang Melayu bernama Encik Lanang,
pulau ini dipinjamkan oleh Pemerintah Hindia Belnda kepada Encik Lanang atas
jasanya dalam membantu Hindia Belanda dalam perang di Bali. Pesta Lomban kala
itu memang saat-saat yang menggembirakan bagi masyarakat warga nelayan di
Jepara. Pesta ini dimulai pada pagi hari saat matahari mulai menampakkan
cahayanya di bumi, penduduk peserta Lomban telah bangun dan menuju perahunya
masing-masing.Mereka mempersiapkan amunisi guna dipergunakan dalam “Perang
Teluk Jepara”, baik amunisi logistik berupa minuman dan makanan maupun amunisi
perang berupa ketupat, lepet dan kolang kaling, guna meramaikan dibawa pula petasan
sehingga suasananya ibarat perang. Keberangkatan armada perahu ini di iringi
dengan gamelan Kebogiro. Bunyi petasan yang memekakkan telinga dan peluncuran
“Peluru” kupat dan lepet dari satu perahu ke perahu yang lain. Saat “Perang
Teluk” berlangsung dimeriahkan dengan gamelan Kebogiro. Seusai pertempuran para
peserta Pesta Lomban bersama-sama mendarat ke Pulau Kelor untuk makan bekalnya
masing-masing. Di samping makan bekalnya situasi di Pulau Kelor tersebut ramai
oleh para pedagang yang juga menjual makanan dan minuman serta barang-barang
kebutuhan lainnya. Selain pesta-pesta tersebut, para nelayan peserta Pesta
Lomban tak lupa lebih dahulu berziarah ke makam Encik Lanang yang dimakamkan di
Pulau Kelor tersebut. Sebelum sore hari Pesta Lomban berakhir penonton dan
peserta pulang ke rumah masing-masing.
Kupatan
(Lomban)
Istilah Lomban oleh
sebagian masyarakat Jepara disebutkan dari kata “lomba-lomba” yang berarti
masyarakat nelayan masa itu bersenang-senang melaksanakan lomba-lomba laut yang
seperti sekarang masih dilaksanakan setiap pesta Lomban, namun ada sebagian mengatakan
bahwa kata-kata lomban berasal dari kata “Lelumban” atau bersenang-senang. Pesta Lomban merupakan pesta
masyarakat nelayan di wilayah Kabupaten Jepara dalam bentuk sedekah laut. Namun
kini sudah menjadi milik keseluruhan masyarakat Jepara, bukan nelayan saja.
Semuanya mempunyai makna yang sama yaitu merayakan hari raya dengan
bersenang-senang setelah berpuasa Ramadhan sebulan penuh. Yang pasti, bada
lomban merupakan momen bagi para nelayan untuk bersenang-senang dalam merayakan
Idul Fitri setelah menunaikan puasa sebulan penuh. Tidak hanya para nelayan,
anak-anak yang tinggal di sekitar pantai dengan menyeramakkan tersebut dengan
menggunakan baju warna-warni. Pesta ini merupakan puncak acara
dari Pekan Syawalan yang diselenggarakan pada tanggal 8 syawal atau 1 minggu
setelah hari Raya Idul Fitri dengan melarung kepala kerbau ke tengah lautan. Pusat perayaan ini berada di Pantai Kartini, Jepara, namun bisa juga
disaksikan di Ujung Gelam, Pantai Koin, Karimunjawa, pantai bandengan, pantai bondo, serta beberapa tempat yang di tentukan
sebelumnya. Selain bada lomban, dikenal pula bada kupat. Kupat
adalah bentuk tradisional yang tidak asing lagi bagi masyarakat khususnya
masyarakat Jawa Tengah. Secara harfiah, ketupat merupakan jenis makanan yang
dibuat dari pembungkus pelepah daun janur berbentuk hati yang di dalamnya
berisi beras yang sudah matang. Ketupat ini hanyalah merupakan bentuk
simbolisasi yang bermakna hati putih yang dimiliki oleh seseorang yang kembali
suci.
Ketupat dalam
bahasa Jawa berasal dari singkatan “Ngaku Lepat” yang berarti mengakui
kesalahan. Maknanya, dengan tradisi ketupat diharapkan setiap orang mau
mengakui kesalahan, sehingga memudahkan diri untuk memaafkan kesalahan orang
lain. Singkatnya, semua dosa yang ada akan saling terlebur bersamaan dengan
hari raya idul fitri. Selain itu ketupat mengandung empat makna yakni: lebar,
lebur, luber dan labur. Lebar artinya luas, lebur artinya dosa atau kesalahan
yang sudah diampuni, luber maknanya pemberian pahala yang berlebih, dan labur
artinya wajah yang ceria. Secara keseluruhan bisa dimaknai sebagai suatu
keadaan yang paling bahagia setelah segala dosa yang demikian besar diampuni
untuk kembali menjadi orang yang suci dan bersih. Banyak makna filosofis yang
dikandung dalam makanan ketupat ini. Bungkus yang dibuat dari janur kuning
melambangkan penolak bala bagi orang Jawa. Sebagian masyarakat juga memaknai
rumitnya anyaman bungkus ketupat mencerminkan berbagai macam kesalahan manusia
sedangkan warna putih ketupat ketika dibelah dua mencerminkan kebersihan dan
kesucian setelah mohon ampun dari kesalahan. Beras sebagai isi ketupat
diharapkan menjadi lambang kemakmuran setelah hari raya. Adapun bentuk ketupat
yang persegi, menjadi simbol atau perwujudan cara pandang kiblat papat lima
pancer. Cara pandang itu menegasikan adanya harmonisasi dan keseimbangan alam:
empat arah mata angin utama, yaitu timur, selatan, barat, dan utara yang
bertumpu pada satu pusat. Maknanya, manusia dalam kehidupan, ke arah manapun
dia pergi, hendaknya tidak pernah melupakan pancer yaitu tuhan yang maha Esa.
Selain ketupat, makanan khas di Jepara pada saat pesta lomban adalah lepet.
Lepet adalah makanan
terbuat dari ketan dan kelapa, kadang-kadang ditambahkan dengan kacang tanah,
dibungkus juga dengan janur tetapi cara membungkusnya berbeda degan kupat.
Janur dilipat secara memanjang dimana adonan ketan diletakkan di
tengah-tengahnya, kemudian diikat dengan tali bambu secara melingkar. Lepet
memberi makna pertama, "mangga dipun silep ingkan rapet"
(Jawa: mari disimpan/dikubur dengan rapat-rapat). Kedua, dibungkus
menyerupai mayat dan diikat laksana kafan (pembungkus mayat), memberi makna
bahwa ketan itu lengket dan dierat dengan tali persaudaraan, agar kesalahan
tidak menjadi dendam sampai mati. Secara bebas dimaknai dari Kupat-Lepet ini
adalah "Mengakui segala kesalahan dan memohon maaf, kemudian mengubur
kesalahan tersebut dalam-dalam untuk tidak diulangi dengan hati yang bersih,
agar persaudaraan semakin erat, tidak ada dendam hingga ajal menjelang". Tujuan diadakannya Pesta Lomban ini sebagai bentuk nyata peran Pemerintah
Kabupaten Jepara dalam melestarikan budaya lokal Jepara, sebagai salah satu
bentuk kearifan lokal Jepara sekaligus event untuk mempromosikan potensi wisata
Kabupaten Jepara khususnya wisata budaya yang dimiliki Kabupaten Jepara.
Prosesi
Pesta
Lomban masa kini telah dilaksanakan oleh warga masyarakat nelayan Jepara bahkan
dalam perkembangannya sudah menjadi milik warga masyarakat Jepara. Hal ini
nampak partisipasinya yang besar masyarakat Jepara menyambut PestaLomban. Dua
atau tiga hari sebelum Pesta Lomban berlangsung pasar-pasar di kota Jepara
nampak ramai seperti ketika menjelang Hari Raya Idul Fitri. Ibu-ibu rumah
tangga sibuk mempersiapkan pesta lomban sebagai hari raya kedua. Pedagang
bungkusan kupat dengan janur (bahan pembuat kupat dan lepet) juga menjajakan
ayam guna melengkapi lauk pauknya. Malam hari sebelum acara pesta Lomban
berlangsung, biasanya diadakan pagelaran wayang kulit semalam suntuk. Pada saat
pesta Lomban berlansung semua pasar di Jepara tutup tidak ada pedagang yang
berjualan semuanya berbondong-bondong ke Pantai Kartini Pesta Lomban dimulai
sejak pukul 06.00 WIB dimulai dengan upacara Pelepasan Sesaji dari TPI
Jobokuto.
Upacara ini dipimpin oleh pemuka agama desa Jobokuto dan
dihadiri oleh Bapak Bupati Jepara dan para pejabat Kabupaten lainnya. Sesaji
itu berupa kepala kerbau, kaki, kulit dan jerohannya dibungkus dengan kain mori
putih. Sesaji lainnya berisi sepasang kupat dan lepet, bubur merah putih, jajan
pasar, arang-arang kambong (beras digoreng), nasi yang diatasnya ditutupi ikan,
jajan pasar, ayam dekeman (ingkung), dan kembang boreh/setaman. Semua sesaji
diletakkan dalam sebuah ancak yang telah disiapkan sebelumnya. Setelah dilepas
dengan do’a sesaji ini di”larung” ke tengah lautan, pembawa sesaji dilakukan
oleh sejumlah rombongan yang telah ditunjuk oleh pinisepuh nelayan setempat dan
diikuti oleh keluarga nelayan, semua pemilik perahu, dan aparat setempat.
Pelarungan sesaji ini dipimpin oleh Bupati Jepara. Tradisi pelarungan kepala
kerbau ini dimulai sejak Haji Sidik yang kala itu menjabat Kepala Desa
Ujungbatu sekitar tahun 1920. Upacara pemberangkatan sesaji kepala kerbau yang
dipimpin oleh Bapak Bupati Jepara, sebelum diangkut ke perahu sesaji diberi
do’a oleh pemuka agama dan kemudian diangkat oleh para nelayan ke perahu
pengangkut diiringi Bupati Jepara bersama dengan rombongan. Sementara sesaji
dilarung ke tengah lautan, para peserta pesta lomban menuju ke “Teluk Jepara”
untuk bersiap melakukan Perang Laut dengan amunisi beragam macam ketupat dan
lepet tersebut. Di tengah laut setelah sesaji dilepas, beberapa perahu nelayan
berebut mendapatkan air dari sesaji itu yang kemudian disiramkan ke kapal
mereka dengan keyakinan kapal tersebut akan mendapatkan banyak berkah dalam
mencari ikan. Ketika berebut sesaji ini juga dimeriahkan dengan tradisi perang
ketupat dimana antar perahu yang berebut saling melempar dengan menggunakan
ketupat.
Selanjutnya
dengan disaksikan ribuan pengunjung Pesta Lomban acara “Perang Teluk”
berlangsung ribuan kupat, lepet, kolang kaling, telur-telur busuk berhamburan
mengenai sasaran dari perahu ke perahu yang lain. “Perang Teluk” usai setelah
Bupati Jepara beserta rombongan merapat ke Pantai Kartini dan mendarat di
dermaga guna beristirahat dan makan bekal yang telah dibawa dari rumah. Di sini
para peserta pesta Lomban dihibur dengan tarian tradisional Gambyong dan Langen
Beken dan lain sebagainya. Maksud dari upacara pelarungan ini adalah sebagai
ungkapan rasa terima kasih kepada Allah SWT, yang melimpahkan rezeki dan
keselamatan kepada warga masyarakat nelayan selama setahun dan berharap pula
berkah dan hidayahNya untuk masa depan. Selain itu pelarungan ditujukan sebagai
salah satu bentuk rasa hormat kepada Yang Maha Penguasa ‘sing mbaurekso’
sebagai ruh para leluhur yang mereka percaya dapat menjaga dan melindunginya
dari segala ancaman dari marabahaya dan mala petaka. Tradisi upacara yang masih
bertahan dapat memberi gambaran bahwa masyarakat nelayan masih memegang teguh
adat istiadat yang diwarisi secara turun-temurun. Kepercayaan terhadap leluhur,
roh halus merupakan manifestasi keteguhan hati yang masih mengakar pada diri
nelayan Jepara dalam hal nguri-uri kebudayaan leluhurnya.
Kesimpulan
Lomban seakan mengandung magnet yang mampu menyedot
banyak orang berdatangan dari berbagai penjuru tempat. Meski, sebenarnya tidak
ada sesuatu yang sama sekali baru yang “terhidangkan” di tradisi lomban jika
dibandingkan dengan hari-hari (libur) biasa. Perahu-perahu yang disewakan untuk
pengunjung juga sama perahu yang biasa melayani pengunjung di hari-hari (libur)
biasa. Paling-paling hanya sedikit dihiasi dengan bahan janur. Memang, biasanya
saat kupatan ada pertunjukan-pertunjukan hiburan rakyat yang jumlahnya relatif
banyak. Dan, situasi itu mengundang banyak pedagang untuk berjualan, baik jenis
makanan maupun suvenir (khas derah). Sekarang, berbagai lomba telah mulai
berkurang. Ritual tahunan kupatan, agaknya tak hanya untuk ajang rekresai
tradisi keluarga, tapi juga sebagai media bersilaturahmi antar pengunjung yang
masih memiliki ikatan sosial, apakah teman lama, kolega, tetangga kampung,
ataupun yang lainnya; jika di saat Lebaran mereka belum berjumpa. Di samping
itu, dari sisi ekonomi, boleh jadi tradisi lomban menjadi lahan produktif. Tak hanya menguntungkan pengusaha
perahu/kapal, tetapi juga para nelayan, yang sehari-harinya ketika melaut tak
selalu “menjanjikan”. Warga pesisir yang memiliki usaha kerajinan tangan boleh
merasakan berkah. Pedagang musiman, yang barangkali tak hanya berasal dari
daerah setempat, tetapi daerah lain pun teranugerahi rezeki. Itu artinya,
perputaran ekonomi yang masih dekat dengan masa Lebaran, yang memungkinkan uang
dari pusat-pusat ekonomi tergelontorkan ke daerah boleh juga mereka cicipi demi
menjaga keberlangsungan hidup keluarga. Dari segi sosial, pesta lomban bisa
menjadi sarana komunikasi antara masyarakat dengan pemerintah Jepara serta
antar masyarakat Jepara sendiri. Momentum pesta lomban menunjukkan bahwa
masyarakat Jepara memegang teguh tradisi yang telah ada untuk diwariskan kepada
penerus-penerus bangsa penerus-penerus bangsa.
[1] Nama
Jepara berasal dari kata ‘ujung’ dan ‘para’. Kata Para adalah kependekan dari
‘pepara’ yang berarti bebakulan mrana-mrana, yaitu berdagang kesana-kemari.
Sementara itu Lekkerkerker menyebut Jepara dengan haventjes der klein
handelaars artinya pelabuhan para pedagang kecil. Panitia Penyusunan Hari Jadi
Jepara mengatakan bahwa pada umumnya kota-kota yang terletak di tepi pantai
biasanya menggunakan kata ‘ujung’ seperti ‘Ujung Sawat’, ‘Ujung Gat’, ‘Ujung
Kalirang’, ‘Ujung Jati’, ‘Ujung Lumajang’, dan ‘Ujung Blidang’ sehingga kata
Jepara berasal dari kata ‘ ujung para, ujungmara atau jumpara’.
Komentar
Posting Komentar