Langsung ke konten utama

TRADISI JANENGAN DI KEBUMEN



Tradisi Janengan di Kebumen
Oleh: Syamsul Arifin
            NIM: 12010040
Mata kuliah: Islam dan Budaya Lokal
Sekolah Tinggi Agama Islam Sunan Pandanaran (STAISPA)

Pendahuluan
Islam sebagai sebuah tradisi yang berinteraksi dengan tradisi lain seringkali menciptakan tradisi baru. Sebuah tradisi hasil hibridasi antara Islam di satu sisi dan tradisi lokal pada sisi yang lain. Pada masyarakat Jawa hasil hibridasi ini kemudian dikenal dengan Islam-Jawa yang merupakanbentukan dari akulturasi dengan kebudayaan lokal. Kenyataan ini semakin memperkokoh pandangan bahwa Islam tidaklah hanya berupa sekumpulan doktrin. Melainkan juga, Islam dihayati dan diamalkan oleh para pemeluknya menjadi sebuah realitas kebudayaan. Dengan begitu, akulturasi budaya antara Islam dan kebudayaan lokal adalah bagian dari sekian banyak ekspresi Islam sebagai pandangan hidup dan sumber inspirasi bagi tindakan para
Pemeluknya.
            Salah satu realitas budaya yang dihasilkan dari kehidupan masyaraka Muslim Jawa adalah seni musik tradisional Jawa-Islam. Ekspresi kebudayaan Islam-Jawa dalam seni musik ini sangat beragam, dan mencerminkan keberagaman “wajah” Islam yang telah beradaptasi dengan budaya lokal. Sebut saja misalnya rebana, hadrah, gambus, qasidah, gambang shalawatan,
kentrung, santiswaran, gending banyumasan, Janengan, rengkong, rampak religi, rodad, dan nasid. Bahkan jenis-jenis musik tersebut saling berkolaborasi untuk menciptakan harmoni musik yang khas. Kekhasan kebudayaan ini merupakan fakta yang tidak terbantahkan dalam perkembangan Islam diJawa, bahwa berbagai bentuk seni budaya Islam yang berkembang di Jawa tidak terdapat di Arab.

Pembahasan
            Asal-usul Janengan
            Janengan merupakan salah satu seni tradisi yang tumbuh dan berkembang di Kebumen. Sebagian masyarakat Kebumen menyebutnya dengan shalawat Jamjaneng, sebagian yang lain menyebutnya dengan Janengan. Meskipun dari segi unsur pembentuknya seni ini mirip dengan seni tradisi lain seperti srakal dan jembrung yang berkembang luas di Jawa Timur dan Jawa Tengah masyarakat Kebumen menyebut seni tradisi ini sebagai khas musik tradisional Kebumen. Hal ini karena seni Janengan tidak berkembang di wilayah lain di sekitar Kebumen seperti Purworejo, Wonosobo, Banjarnegara dan Purbalingga. Sebaliknya hampir di seluruh desa di Kebumen terdapat kelompok Janengan ini.
            Para pemilik tradisi Janengan menuturkan bahwa Janengan merupakan warisan tradisi Islam yang diwariskan oleh nenek moyang mereka sejak masa awal perkembangan Islam. Mereka melihat Janengan sebagai seni khas Islam Kebumen yang sudah barang tentu berbeda dengan seni tradisi lain yang seperti dolalak di Purworejo. Sulit dilacak mulai kapan seni Janengan di Kebumen mulai ada. Para pemilik kelompok dan pemain Janengan tampaknya bersepakat bahwa Janengan berasal dari kata “Zamjani”, nama tokoh yang dipercaya sebagai pencipta musik tradisional Islam-Jawa ini. Tradisi masyarakat setempat mempercayai Syekh Zamjani merupakan tokoh yang memadukan syair-syair yang diciptakan oleh Sunan Kalijaga dan musik Jawa ciptaan Ibrahim al-Samarqandi (Brahim Samarkandi). Tokoh ini diperkirakan hidup pada abad ke-15-16, masa dimana Islam berkembang pesat di Tanah Jawa.
Menurut penuturan tokoh setempat Syekh Zamjani berasal dari Kutawinangun, yaitu tempat asal pendiri Kebumen yang bernama Joko Sangrib. Paduan Syair dan musik Jawa oleh Syekh Zamjani itulah yang kemudian dikenal oleh masyarakat sebagai Janengan. Seni tradisi Janengan sebagaimana seni tradisi lainnya tentu menghadapi tantangan zaman yang sangat berat. Pada awalnya seiring dengan perkembangan Islam di Jawa Janengan berkembang seiring dengan pertumbuhan dan perkembangan Islam-Jawa yang menghasilkan berbagi varian tradisi Islam.


Bentuk Lagu Janengan
Seni tradisi Janengan memadukan musik Jawa dan syi’iran (singiran). Dalam Janengan lagu syi’iran terdiri dari shalawat dan syi’ir Jawa. Namun juga terdapat lagu-lagu Janengan yang hanya terdiri dari bait-bait lagu syi’ir Jawa. Salah satu teknik menyanyikan lagu-lagu dalam Janengan adalah penyanyi melagukannya dengan suara melengking dan dengan nada yang sangat tinggi. Kemampuan bernyanyi semacam ini jarang dimiliki, para pegiatseni Janengan. Oleh karena itu pemimpin Kelompok Janengan yang ada sekarang kebanyakan telah merubah teknik semacam ini dan menggantinya dengan nada yang lebih rendah dan tidak melengking. Karena alasan ini pula biasanya pimpinan Janengan yang biasanya disebut dengan dalang merupakan orang yang memiliki kemampuan dan kualitas suara melengking. Dalang merupakan pemimpin kelompok Janengan yeng bertugas mengatur irama Janengan dari mulai pembukaan sampai penutup.
Menurut salah satu sesepuh kelompok Janengan “Margo Eling”, untuk mendapatkan suara semacam itu seseorang harus melakukan gurah sekaligus laku untuk menghindari makanan tertentu seperti trancam terong, dan makanan lainnya yang akan berpengaruh terhadap kualitas suara seseorang. Kualitas suara tinggi dan kemampuan untuk melantunkan lagu dalam waktu yang sangat lama tentu sangat dibutuhkan, mengingat Janengan biasa berlangsung sampai tengah malam, bahkan seringkali semalam suntuk. Salah seorang pegiat Janengan menuturkan dalam acara Janengan rutin biasanya berlangsung dari mulai jam 20.00 WIB sampai jam 12.00 WIB. Acara semacam ini pula yang berlangsung di salah satu Stasiun Radio Kebumen (IN FM). Di stasiun tersebut acara Janengan dilakukan setiap malam Jum’at yang berlangsung dari jam 20.00 WIB sampai jam 12.00 WIB. Secara bergiliran kelompok-kelompok Janengan yang berasal dari berbagai desa di Kebumen diundang untuk bermain Janengan. Tentu saja Janengan yang dimainkan diradio tersebut sangat variatif baik dari segi lagu yang dinyangikan maupun alat musik yang digunakan. Tidak jarang Janengan telah dicampur dengan campursari dengan kombinasi alat musik Janengan asli dan alat musik modern. Di stasiun radio IN FM kini tersimpan dukentasi yang cukup rapi acara live berbagai kelompok Janengan.

Alat Musik
Pada awalnya Jenengan merupakan seni tradisi Islam yang sangat sederhana. Hal ini bisa dilihat dari alat musik yang digunakan. Musik tradisional Janengan pada awalnya hanya terdiri dari alat musik tepuk. Sebelum mengalami modifikasi seperti yang dilakukan oleh berbagai kelompok Janengan dewasa ini, alat musik Janengan terdiri dari tuling, kemeng, ukel, gong dan kendang. Semuanya merupakan jenis alat musik ritmis dengan teknik bermain dipukul dengan tangan atau kayu. Tuleng alat musik Janengan terbuat dari bambu. Teknik membunyikan alat ini adalah dengan dipukul menggunakan kayu pemukul. Alat tuleng yang asli adalah sejenis kendang yang sangat kecil dengan teknik membunyikan dipukul dengan jari-jari tangan seperti membunyikan terbang. Kemeng, ukel dan gong adalah alat musik yang biasanya sering disebut dengan terbang Jawa. Adapun yang membedakan adalah ukuran ketiganya. Kemeng adalah terbang Jawa dengan ukur yang kecil, Ukel adalah terbang Jawa dengan ukuran sedang dan gong adalah terbang Jawa dengan ukuran besar. Adapun kendang dalam Janengan adalah sejenis dengan kendang Jawa yang biasa digunakan dalam gamelan mupun kendang jaipong. Namun pada awalnya kendang janeng hanya menggunakan satu kendang yaitu kendang gamelan ataupun jaipong yang memiliki ukuran paling besar. Dalam perkembangannya bertambah menjadi alat musik tepuk dan pukul. Sekarang sebagian kelompok seni Janengan juga menggunakan alat musik elektronik seperti keyboard. Alat musik tepuk terdiri dari kendang,
ukel (terbang kecil 1, sedang 1 dan besar). jidor (1 buah). Sedangkan untuk alat musik pukul menggunakan angklung pukul). Dengan perkembangan tuntutan agar Janengan bisa diterima oleh generai muda, maka kini sebagian kelompok msuik Janengan juga menggunakan alat-alat musik yang lain seperti gitar dan keyboard.
           
            Kandungan Lagu Janengan
            lagu Janengan berupa shalawat yang dikomibinasi dengan syair atau yang biasa dikenal dengan singir. Oleh karenanya sebagian masyarakat menyebutnya dengan shalawat Janengan. Dari sudut material naskah lagulagu Janengan sebagaimana naskah-naskah syi’iran yang tersebar pada masyarakat Jawa pada awalnya ditulis dalam huruf Arab pegon. Akan tetapi
perkembangan baru masyarakat lebih familiar dengan huruf Latin ketimbang huruf pegon, maka naskah-naskah tersebut ditransliterasi dengan hurufhuruf Latin. Bahkan dari segi pengucapan syair shalawat itu diucapkan dengan dialek khas Kebumen. Hal ini bisa dilihat pada kutipan naskah sebagai berikut.

LAGU PEMBUKA
LAGU AKIDAH
LAGU TASAWUF
Assalamu Ngalaik
Assalamu Ngalaik
Ngalal Mugo Damilil Imamah
Asalamu Ngalaik
Assalamu Ngalaik
Ngalal Musyaf Fangiil Qiyamah
Asalamu Ngalaik
Asalamu Ngalaik
Ngalal Mudhol Lalibil Chomamah
Asalamu Ngalaik
Asslamu Ngaliaik
Ngalal Mutaw Wajibil Karomah
Lailaha Illalllah
Lailaha Illalllah
Lailaha Illalllah
Muhammadur Rasulullah
Allah-Allah-Allah Allah Tuhan Allah
Allah-Allah-Allah Rabuna
Allah-Allah-Allah Li Hasbuna
Allah-Allah-Allah Datullah
Allah-Allah-Allah Sifatullah
Allah-Allah-Allah Wujudullah
E Dzikrullah Allah Allah Dzikrullah
Yen Dzikira Sira Maring Gusti Allah
E Sirrullah Allah-Allah Isirullah
E Yola Datullah, Allah Allah Allah Yola Datullah
E Sifatullah, Allah Allah Wujudullah
E Ulehana Kulo Dumateng Dunya
E Umahena Kula Niki Pinggireng Masjid
E Slahat Makmum Shalat Sunat Kulo Lampahi

Pemain Janengan
Pada awalnya alat musik Janengan hanya terdiri dari alat-alat perkusi yang berjumlah tujuh buah. Oleh karena itu jumlah minimal pemain Janengan adalah tujuh orang. Di Kebumen sekarang ini jumlah orang yang terlibat dalam permainan musik antara lima belas sampai 20 orang yang biasanya tediri dari seorang dalang, tujuh orang penabuh alat musik dan sejumlah orang anggota sebagai penjawab syair.

Janengan dari Masa ke Masa
Bagi masyarakat Kebumen, Janeng merupakan kesenian daerah yang tergolong tradisional. Kesenian itu sejak sekian lama telah menjadi jantung kesenian tradisional di kabupaten tersebut. Sebagian tokoh seni Janengan menyatakan Janengan adalah identitas seni tradisi Islam Kebumen yang membedakannya dengan seni daerah lain.
Memang keberadan Janengan kini berbeda dengan sebelum tahun 1980-an. Pada tahun-tahun itu sebelum dangdut, musik pop, campursari, dan kesenian modern lain populer, musik Janengan sering dimainkan di manamana: di balai desa, kecamatan, pendopo kabupaten, dan di tempat orang punya hajat. Janengan pada saat itu menjadi hiburan dan tontonan laris yang banyak digemari masyarakat Kebumen. Karena itu, pertunjukan rutin seni Janengan atau juga biasa disebut Jam Janeng yang diadakan di salah satu stasiun radio swasta setiap malam Jum’at setidaknya mempu membangkitkan rasa “kangen” masyarakat terhadap kesenian tersebut. Akan tetapi di masa yang modern ini, sekarang sedikit sekali yang memainkan janengan, dengan generasi muda yang lebih suka dengan musik modern.

Penutup
Musik tradisional Islam-Jawa Janengan merupakan perwujudan darib perpaduan tiga unsur tradisi musik, yakni tradisi musik Jawa, dan tradisi musik Islam Timur Tengah (Arab) dan kini telah dikembangkan dengan kombinasi musik Barat seperti Pop. Perpaduan di antara ketiga unsur tradisi musik yang berbeda ini membentuk suatu hasil kreativitas yang unik.
Kesatupaduan di antara kedua unsur tradisi musik tersebut melahirkan nuansa musikal yang khas serta berbeda dengan kebanyakan nuansa musik islami pada umumnya. Namun demikian secara keseluruhan tampak kesan komposisi musik Janengan adalah nuansa musik Jawa. Dengan demikian, tepatlah apabila musik Janengan ini dinamakan “musik tradisional Jawa-Islam”. Musik tradisional Islam-Jawa ini terbentuk dari perpaduan antara ketiga unsur tradisi musik—musik Barat, musik Jawa, dan musik Islam—ini juga melahirkan nilai-nilai tersendiri, meliputi: nilai-nilai musikal, nilai-nilai kultural, dan nilai-nilai religius.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Upacara Adat Ammateang

Upacara Adat Ammateang Bugis Oleh : Zulkifli (12010047) Prodi Ilmu Al-Quran dan Tafsir Sekolah Tinggi Agama Islam Sunan Pandanaran Pendahuluan Keanekaragaman budaya yang ada di Indonesia harus dipandang sebagai sebuah kekayaan bukan kemiskinan. Bahwa Indonesia tidak memiliki identitas adat dan   budaya yang tunggal bukan berarti tidak memiliki jati diri, namun dengan keanekaragaman adat dan budaya yang ada membuktikan bahwa masyarakat kita memiliki kualitas produksi adat dan budaya yang luar biasa, jika mengacu pada pengertian bahwa kebudayaan adalah hasil cipta manusia. Dengan demikian adat dan Budaya amupun tradisi akan selalu mengalami dinamis dan mendapatkan akulturasi dari berbagai aspek seperti ajaran islam. Pembahasan di sini menggali sebuah adat suku bugis di pulau bagian timur tepatnya di sulawesi selatan. Adat tersebut di kenal dengan nama Upacara Adat Ammateang yang mengalami akulturasi dengan islam yang sejalan dengan perkembangan zaman. Adat Upacara Adat

Selamatan Tujuh Bulanan (Tingkeban)

Selamatan Tujuh Bulan / Tingkeban Mufijatul Hasanah/ 12010028 Islam Budaya Lokal/ M. Sidqi, M. Hum Sekolah Tinggi Agama Islam Sunan Pandanaran A. Pendahuluan Proses terjadinya manusia merupakan peristiwa yang sangat menakjubkan, sebagai tanda keagungan Sang Pencipta. Berwujud dari benda yang tak bernilai /sperma secara bertahap berubah hingga akhirnya sempurna dan lengkap dengan anggota badan yang tersusun rapi dan rumit, bahkan dilengkapi dengan akal pikiran, budi pekerti dan perasaan. Ajaran Islam bisa dinyatakan telah kuat jika sudah mentradisi ditengah masyarakat muslim, sehingga tradisi menjadi sangat menentukan dalam keberlangsungan ajaran disaat tradisi itu telah menyatu dengan ajaran, karena tradisi merupakan darah daging dalam tubuh masyarakat, sementara mengubahnya adalah sesuatu yang sangat sulit, maka sangatlah bijaksana ketika tradisi tidak diposisikan berhadapan dengan ajaran, tetapi sebagai pintu masuk suatu ajaran. Dalam makalah ini sekilas dibahas tentang

Budaya Lokal dan Islam di Kabupaten Kudus

Budaya Lokal dan Islam di Kabupaten Kudus Oleh : Miftahul Karim Pendahuluan Kabupaten Kudus merupakan sebuah kabupaten di Provinsi Jawa Tengah. Ibukota kabupaten ini adalah Kudus, terletak di jalur pantai timur laut Jawa Tengah antara Kota Semarang dan Kota Surabaya. Kota ini terletak kurang lebih 51 kilometer dari timur Kota Semarang. Kabupaten kudus berbatasan dengan Kabupaten Pati di timur, Kabupaten Grobogan dan Kabupaten Demak di selatan, serta Kabupaten Jepara di barat. Kudus merupakan penghasil rokok kretek terbesar di Jawa tengah dan juga merupakan kota santri. Kota ini merupakan pusat perkembangan agama Islam pada abad pertengahan. Selain sebagai penghasil rokok kretek terbesar dan sota santri, kudus juga merupakn kabupaten yang kaya akan kebudayaannya. Seperti dandangan, buka luwur, juga bulusan, serta berbagai macam ragam daerahnya yang menarik untuk diamati dan dipelajari. PEMBAHASAN Seperti banyak daerah di Indonesia, Kabupaten kudus juga memiliki ragam kebudayaan y