Langsung ke konten utama

Panjang Jimat



Tradisi Panjang Jimat di Cirebon
Oleh:
Abdul Haris
1201001
Program Studi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir
Sekolah Tinggi Agama Islam Sunan Pandanaran

Awal Mula Kemunculan Maulid Nabi dan Penyebarannya di Jawa
Bagi sebagian orang Islam tradisi merayakan Maulid Nabi Muhammad SAW merupakan sebagai salah satu bentuk rasa cinta umat kepada Rasul Nya. Di tanah Jawa sendiri tradisi ini telah ada sejak zaman walisongo, pada masa itu tradisi Maulid Nabi dijadikan sebagai sarana dakwah penyebaran agama Islam dengan menghadirkan berbagai macam kegiatan yang menarik masyarakat. Pada saat ini tradisi Maulid/Mauludan di Jawa disamping sebagai bentuk perwujudan cinta umat kepada Rasul juga sebagai penghormatan terhadap jasa-jasa Walisongo.
Sebagian masyarakat Jawa merayakan maulid dengan membaca Barzanji, Diba’i atau al-Burdah atau dalam istilah orang Jakarta dikenal dengan rawi. Barzanji dan Diba’i adalah karya tulis seni sastra yang isinya bertutur tentang kehidupan Muhammad, mencakup silsilah keturunannya, masa kanak-kanak, remaja, pemuda, hingga diangkat menjadi rasul. Karya itu juga mengisahkan sifat-sifat mulia yang dimiliki Nabi Muhammad, serta berbagai peristiwa untuk dijadikan teladan umat manusia. Sedangkan Al-Burdah adalah kumpulan syair-syair pujian kepada Rasulullah SAW yang dikarang oleh Al-Bushiri.
Berbagai macam acara dibuat untuk meramaikan acara ini, lambat laun menjadi bagian dari adat dan tradisi turun temurun kebudayaan setempat. Di Yogyakarta, dan Surakarta, perayaan maulid dikenal dengan istilah sekaten,. Istilah ini berasal dari stilasi lidah orang Jawa atas kata syahadatain, yaitu dua kalimat syahadat. Perayaan umumnya bersifat ritual penghormatan (bukan penyembahan) terhadap jasa para wali penyebar Islam, misalnya upacara Panjang Jimat yaitu upacara pencucian senjata pusaka peninggalan para wali.
Di Cirebon upacara Maulid Nabi (selanjutnya disebut dengan Panjang Jimat) dilaksanakan di empat tempat yang menjadi peninggalan dari Syarief Hidayatullah. Masing-masing di Keraton Kasepuhan, Keraton Kanoman, Keraton Kacirebonan/Kasunanan dan kompleks makam Syekh Syarief Hidayatullah. Di Jogjakarta dan Surakarta di masing-masing keraton dengan acaranya Grebeg Mulud. Pada zaman kesultanan Mataram perayaan Maulid Nabi disebut Grebeg Mulud. Kata "Grebeg" artinya mengikuti, yaitu mengikuti sultan dan para pembesar keluar dari keraton menuju masjid untuk mengikuti perayaan Maulid Nabi lengkap dengan sarana upacara, seperti nasi gunungan dan sebagainya.
Di Garut terdapat upacara Ngalungsur yaitu proses upacara ritual dimana barang-barang pusaka peninggalan Sunan Rohmat (Sunan Godog/Kian Santang) setiap setahun sekali dibersihkan atau dicuci dengan air bunga-bunga dan digosok dengan minyak wangi supaya tidak berkarat, di fokuskan di desa Lebak Agung, Karangpawitan. Di Banten kegiatan di fokuskan di Masjid Agung Banten. ditempat lain diantaranya tempat-tempat ziarah makam para wali.
Di Keraton kasepuhan sendiri perayaan Panjang Jimat secara besar-besaran selalu diadakan, terutama sesudah Syarief Hidayatullah atau lebih dikenal sebagai Sang Susuhunan Jati memegang tampuk pemerintahan Nagri Carbon (Kerajaan Cirebon) 1479 M. Susuhunan Jati mengadakan berbagai perayaan secara besar-besaran ini bukan semata karena menghormati Nabi Muhammad SAW sebagai penyebar agama saja tetapi juga karena menghormati nenek-moyang.
Menurut garis ayah, Syarief Hidayatullah adalah keturunan ke-22 Nabi Muhammad SAW. Ayahnya adalah Syarief Abdullah yang datang ke Pulau Jawa dari Mesir melalui Gujarat, menikah dengan Nyimas Rara Santang putri Sri Baduga Maharaja penguasa Pajajaran. Sebagai keturunan langsung dari penyebar agama Islam, Syarief Hidayatullah begitu menghormatinya secara khusus pula sebagai seorang keturunan kepada nenek-moyangnya. Sejak saat itu muludan di Kerajaan Cirebon selalu meriah hingga kini.
Dapat dipahami juga bahwa tradisi keagamaan maulid merupakan salah satu sarana penyebaran Islam di Indonesia. Islam tidak mungkin dapat segera tersebar dan diterima masyarakat luas Indonesia, jika saja proses penyebarannya tidak melibatkan tradisi keagamaan. Penyebaran agama Islam sejak abad ke-13 M semakin meluas di Nusantara terutama atas kegiatan kaum sufi yang mampu menyajikan Islam dalam kemasan yang atraktif, khususnya dengan menerangkan kontinuitas kebudayaan masyarakat dalam konteks Islam (Azyumardi Azra, 1998).
Menurut Ahmad Anas jelas terdapat fakta yang kuat bahwa tradisi maulid merupakan salah satu ciri kaum muslimin tradisional di Indonesia dan umumnya dilakukan oleh kalangan sufi. Maka dari segi ini dapat diperoleh kesimpulan sementara bahwa masuknya perayaan maulid bersamaan dengan prosesnya Islam ke Indonesia yang dibawa oleh pendakwah atau dalam hal ini kaum sufi (Ahmad Anas, 2003: 67).
Corak dengan kaum tradisional itu tidak lepas pula dari strategi dakwah yang diterapkan oleh penyebar Islam awal di Indonesia saat itu yang sebagian besar petani yang tinggal di daerah pedesaan dan tingkat pendidikannya yang sangat rendah, maka pola penyebarannya pun disesuaikan dnegan kemampuan pemahamaan masyarakat. Sehingga materi dakwah pada waktu itu lebih diarahkan pada peningkatan keyakinan serta ajaran ibadah yang bersifat pemujaan secara ritual. Selain itu ditopang oleh perilaku ibadah dan upacara ritual keagamaan yang dianggap akan makin memperkokoh keimanan dan keislaman mereka sangat dianjurkan seperti tahlilan, yasinan, ziarah kubur, kenduri, haul, upacara yang terikat dengan kematian, termasuk muludan, dan lain sebagainya.
Kondisi lainnya yang berpengaruh dalam penyebaran Maulid Nabi ini adalah kondisi sosial politik pada abad ke-14 hingga ke-16 M. Di berbagi belahan dunia Islam sedang marak dan berada pada puncak penyebaran tradisi maulid yang perintisannya sejak awal abad ke-12. Kegiatan maulid mencapai puncak popularitasnya di kalangan masyarakat sehingga penguasa-penguasa pun kemudian mengakomodasinya sebagai kegiatan resmi negara yang salah satu motifnya adalah kepentingan politik. Acara Maulid Nabi ini menjadi sebuah penglegitimasian keberadaan sultan di kerajaan. Di Keraton Kasepuhan sendiri Sultan memegang peranan penting dalam upacara Panjang Jimat sebagai orang yang diutamakan. Hal tersebut dilakukan untuk memperlihatkan kewibawaan sultan dimata masyarakat.

Prosesi Panjang Jimat
Prosesi adat "Panjang Jimat" adalah refleksi dari proses kelahiran Nabi Muhammad SAW dan merupakan acara puncak dari serangkaian kegiatan Maulud Nabi Muhamad di Keraton Kasepuhan Cirebon. “Panjang” berarti sederetan iring-iringan berbagai benda pusaka dalam prosesi itu dan “Jimat” berarti “siji kang dirumat” atau satu yang dihormati yaitu kalimat sahadat “La Illa ha Illahah” sehingga arti gabungan dua kata itu adalah sederetan persiapan menyongsong kelahiran nabi yang teguh mengumandangkan kalimat sahadat kepada umat di dunia. Pada umumnya masing-masing upacara terdiri atas kombinasi berbagai macam unsur upacara seperti berkorban, berdo’a, bersaji makan bersama, berprosesi, semadi, dan sebagainya. Urutannya telah tertentu sebagai hasil ciptaan para pendahulunya yang telah menjadi tradisi (AB Usman dkk, 2004: 205).
Pengaruh Khalifah Sholahuddin Al Ayubi kemudian menyebar ke seluruh dunia termasuk ke Kerajaan Cirebon dan Sultan Cirebon Syarif Hidayatullah kemudian mengadopsikan acara maulud nabi itu dengan budaya Jawa sehingga menjadi prosesi Panjang Jimat. Secara serentak, upacara pelal Panjang Jimat di Cirebon diselenggarakan di empat tempat yang menjadi peninggalan dari Syarief Hidayatullah. Masing-masing di Keraton Kasepuhan, Keraton Kanoman, Keraton Kacirebonan/Kasunanan dan kompleks makam Syekh Syarief Hidayatullah pendiri Kasultanan Cirebon atau lebih dikenal dengan Sunan Gunung Djati.
Rirual-ritual Panjang Jimat hampir sama dengan upacara yang lainnya, yang semuanya mengukuhkan homogenitas model Jawa yang orisinil. Maka pada saat itu tampaklah raja melakukan miyos dalem (penampilan raja kehadapan rakyatnya). Kemampuan raja mencapai kesatuan dimanfaatkan untuk mendengarkan keabsahan keraton. Pada kegiatan itu raja menyampaikan berkahnya untuk kesejahteraan rakyatnya (Ismawati Budaya dan Kepercaan Jawa Pra-Islam dalam Amin, 2000: 20-21).
Di Keraton Kasepuhan Panjang Jimat diturunkan oleh petugas dan ahli agama di lingkungan kerabat kesultanan Keraton kasepuhan, yang terdiri atas:
1) Diadakan Susrana
Tahap ini diadakan di gedung/bangsal dalem. Disinilah disajikan Nasi Rosul sebanyak 7 golongan, untuk tiap-tiap golongan ditumpangkan/ditempatkan di atas tasbih/piring besar. Petugas-petugasnya adalah : Nyi Penghulu, Nyi Krum yang disaksikan oleh para Ratu Dalem. Di belakang Bangsal Dalem yang disajikan air mawar, kembang goyah, “serbad boreh” (panem) dan hidangan tumpeng 4 “pangsong”/”ancek”/”angsur”. Yang berisi kue-kue dan tempat dong-dang yang berisis makanan, petugasnya adalah Nyi Kotif Agung, Nyi Kaum dengan disaksikan oleh para Ratu/family kasultanan.

2) Di Gedung Bangsal Prabayaksa
Di Gedung Bangsal Prabayaksa yaitu sebelah utara bangsal dalem dan di bangsal Pringgadani (sebelah utara bangsal Prabayaksa), diperuntukan bagi para undangan di tengah ruangan dilowongkan untuk deretan upacara, terus dari Jinem ke Sri Manganti.

Di Keraton Kasepuhan, upacara puncak Pelal Panjang Jimat dimulai tepat pukul 19.50 WIB dipimpin langsung oleh Sultan Sepuh XIII Maulana Pakuningrat, sementara prosesi iring-iringan jimat keraton dibawa dari Bangsal Prabayaksa Keraton menuju Langgar Agung dipimpin Putra Mahkota Kesultanan Kasepuhan Pangeran Raja Adipati PRA. Arief Natadiningrat.
Selanjutnya Sultan menyerahkan payung pusaka kepada Putra Mahkota PRA Arief Natadiningrat sebagai wakil dirinya dalam iring-iringan Panjang Jimat.
Urut-urutan panjang jimat di Kesultanan Kasepuhan yaitu pertama barisan lilin yang melambangkan kelahiran nabi pada malam hari, barisan kedua berupa Manggaran, Nagan, dan Jantungan yang lambangkan kebesaran dan keagungan.
Barisan ketiga, berupa air mawar, pasatan, dan kembang goyang sebagai perlambang air ketuban dan usus atau ari-ari bayi, barisan keempat berupa air serbat dalam empat baki dan dua guci sebagai perlambang kelahiran. Barisan kelima berupa tumpeng jeneng, 10 nasi uduk, 10 nasi putih sebagai perlambang seorang bayi harus diberi nama yang baik agar menjadi orang yang berguna, dan barisan keenam adalah tujuh nasi jimat.
Nasi Jimat itu diarak dengan pengawalan 200 barisan abdi dalem yang masing-masing membawa simbil-simbol sebagai perlambang. Barisan pertama ialah pembawa lilin, bertujuan sebagai penerang, diikuti iring-iringan pembawa perangkat upacara seperti "manggaran", "nadan" dan "jantungan" (perlambang kebesaran dan keagungan).

Setelah sepasukan pengawal (iring-iringan) lengkap berkumpul di Bangsal Purbayaksa, putra mahkota PRA. Arief atas izin Sultan Kasepuhan, memimpin arak-arakan menuju Langgar Agung, sekira 100 meter, masih di lingkungan keraton. Arak-arakan yang keluar dari Bangsal Purbayaksa disambut di luar keraton oleh pengawal pembawa obor (perlambang Abu Tholib, paman nabi menyambut kelahiran bayi Muhammad pada malam hari yang kemudian menjadi manusia agung) sebelum akhirnya dibawa ke mushala. Di mushala itu Nasi Jimat Tujuh Rupa itu dibuka bersama dengan sajian makanan lain termasuk makanan yang disimpan di 38 buah piring pusaka peninggalan Sunan Gunung Djati berusia 600 tahun.

Di mushala (Langgar Agung), dilakukan shalawatan serta pembacaan (mengaji) kitab Barjanzi sampai pukul 24.00 WIB. Setelah shalawatan dan pembacaan kitab yang dipimpin imam Masjid Agung "Sang Cipta Rasa" Keraton Kasepuhan, makanan lalu disantap bersama. PRA Arief yang mengenakan pakaian khas tradisi Cirebonan berupa kemeja hitam dan blangkon, pulang kembali ke keraton dengan pengawalan ketat, sebab ribuan warga yang rela menunggu berlama-lama, pada berebut untuk memegang atau sekadar menyentuh calon Sultan Kasepuhan Cirebon itu karena diyakini bisa membawa berkah “Ngalap berkah”.

Sebelum arak-arakan membawa Nasi Jimat Tujuh Rupa dimulai, Sultan Kasepuhan, Maulana Pakuningrat memberi wejangan kepada para abdi dalem dan tamu undangan. Sultan menyampaikan makna dari perayaan Panjang Jimat yang sudah berusia ratusan tahun. Sebagaimana sebutan "pelal", Panjang Jimat merupakan puncak dari serangkaian ritual yang ditujukan untuk mengenang dan merayakan kelahiran (maulud) Nabi Muhammad saw. Acara ini merupakan penutup rangkaian acara tradisi yang setiap tahun selalu berjalan meriah dan menjadi magnet tersendiri bagi ratusan ribu warga untuk datang ke Kota Cirebon.
Pelal Panjang Jimat, atau rangkaian panjang acara adat mengenang dan merayakan Maulid Nabi Muhammad SAW, bahkan telah menjadi agenda tersendiri. Tidak hanya bagi abdi dalem keraton atau warga Kota Cirebon, tetapi juga warga dari daerah lain seperti Indramayu, Majalengka, Kuningan, termasuk juga Sumedang, Tasikmalaya, Ciamis, Bandung, bahkan wilayah Jateng seperti Tegal, Brebes, Batang, Pekalongan, Semarang sampai Jakarta dan Banten. Banyak masyarakat yang percaya menyaksikan Muludan yang digelar tiga keraton di Cirebon memberikan semangat spiritual dalam menempuh kehidupan, bahkan tidak jarang beberapa orang berusaha menggapai benda pusaka dengan tujuan mendapatkan berkah pada malam Panjang Jimat itu.







Kesimpulan
Upacara Maulid Nabi adalah suatu bentuk kebudayaan tradisional. Maulid Nabi merupakan suatu salah satu bentuk rasa cinta umat kepada Rasul Nya. Awal mula dari Maulid Nabi ini, pertama kali oleh penguasa bani Fatimah yang pertama menetap di Mesir kemudian sampai ke Indonesia atas jasa Sultan Salahuddin Al Ayyubi Khalifah dari dinasti Abbasiah, di Jawa tradisi Maulid Nabi telah ada sejak zaman walisongo sedangkan di Cirebon sendiri Maulid Nabi setelah Sultan Syarief Hidayatullah berkuasa.
Proses dari Maulid Nabi ini sama seperti upacara lainnya. Dalam proses Maulid Nabi ini terdapat beberapa lilin yang dipasang di atas standar, manggara, nagam, jantungan Tumpeng yang mendukung upacara Maulid Nabi.
Dengan berkembangnya jaman yang semakin modern dan mengarah ke globalisasi, maka Maulid Nabi juga mengalami perubahan. Di aspek sosial Maulid Nabi sekarang lebih mendukung kepada pariwisata dan pembangunan namun secara prinsipil kesakralan, tujuan, nilai serta struktur dalam upacara grebeg tidak mengalami perubahan. Meskipun dalam prosesi upacara ada sedikit perbedaan hal tersebut disebabkan karena perubahan jaman, dianggap lebih praktis, ekonomis, sehingga dalam pelaksanaan upacara ada sedikit perkembangan bila dibandingkan dengan dahulu. Di aspek ekonomi Maulud Nabi yang dahulu merupakan sebuah upacara peringatan kelahiran nabi Muhammad Saw saja yang di dalamnya terdapat ritual-ritual khusus sebagai simbol untuk meneladani kerasulannya kini dijadikan oleh masyarakat sebagai tempat mencari rezeki.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Upacara Adat Ammateang

Upacara Adat Ammateang Bugis Oleh : Zulkifli (12010047) Prodi Ilmu Al-Quran dan Tafsir Sekolah Tinggi Agama Islam Sunan Pandanaran Pendahuluan Keanekaragaman budaya yang ada di Indonesia harus dipandang sebagai sebuah kekayaan bukan kemiskinan. Bahwa Indonesia tidak memiliki identitas adat dan   budaya yang tunggal bukan berarti tidak memiliki jati diri, namun dengan keanekaragaman adat dan budaya yang ada membuktikan bahwa masyarakat kita memiliki kualitas produksi adat dan budaya yang luar biasa, jika mengacu pada pengertian bahwa kebudayaan adalah hasil cipta manusia. Dengan demikian adat dan Budaya amupun tradisi akan selalu mengalami dinamis dan mendapatkan akulturasi dari berbagai aspek seperti ajaran islam. Pembahasan di sini menggali sebuah adat suku bugis di pulau bagian timur tepatnya di sulawesi selatan. Adat tersebut di kenal dengan nama Upacara Adat Ammateang yang mengalami akulturasi dengan islam yang sejalan dengan perkembangan zaman. Adat Upacara Adat

Selamatan Tujuh Bulanan (Tingkeban)

Selamatan Tujuh Bulan / Tingkeban Mufijatul Hasanah/ 12010028 Islam Budaya Lokal/ M. Sidqi, M. Hum Sekolah Tinggi Agama Islam Sunan Pandanaran A. Pendahuluan Proses terjadinya manusia merupakan peristiwa yang sangat menakjubkan, sebagai tanda keagungan Sang Pencipta. Berwujud dari benda yang tak bernilai /sperma secara bertahap berubah hingga akhirnya sempurna dan lengkap dengan anggota badan yang tersusun rapi dan rumit, bahkan dilengkapi dengan akal pikiran, budi pekerti dan perasaan. Ajaran Islam bisa dinyatakan telah kuat jika sudah mentradisi ditengah masyarakat muslim, sehingga tradisi menjadi sangat menentukan dalam keberlangsungan ajaran disaat tradisi itu telah menyatu dengan ajaran, karena tradisi merupakan darah daging dalam tubuh masyarakat, sementara mengubahnya adalah sesuatu yang sangat sulit, maka sangatlah bijaksana ketika tradisi tidak diposisikan berhadapan dengan ajaran, tetapi sebagai pintu masuk suatu ajaran. Dalam makalah ini sekilas dibahas tentang

Budaya Lokal dan Islam di Kabupaten Kudus

Budaya Lokal dan Islam di Kabupaten Kudus Oleh : Miftahul Karim Pendahuluan Kabupaten Kudus merupakan sebuah kabupaten di Provinsi Jawa Tengah. Ibukota kabupaten ini adalah Kudus, terletak di jalur pantai timur laut Jawa Tengah antara Kota Semarang dan Kota Surabaya. Kota ini terletak kurang lebih 51 kilometer dari timur Kota Semarang. Kabupaten kudus berbatasan dengan Kabupaten Pati di timur, Kabupaten Grobogan dan Kabupaten Demak di selatan, serta Kabupaten Jepara di barat. Kudus merupakan penghasil rokok kretek terbesar di Jawa tengah dan juga merupakan kota santri. Kota ini merupakan pusat perkembangan agama Islam pada abad pertengahan. Selain sebagai penghasil rokok kretek terbesar dan sota santri, kudus juga merupakn kabupaten yang kaya akan kebudayaannya. Seperti dandangan, buka luwur, juga bulusan, serta berbagai macam ragam daerahnya yang menarik untuk diamati dan dipelajari. PEMBAHASAN Seperti banyak daerah di Indonesia, Kabupaten kudus juga memiliki ragam kebudayaan y