Langsung ke konten utama

Perayaan Khataman di PP API Tegalrejo



AKULTURASI BUDAYA DENGAN PONDOK PESANTREN
(Perayaan Khataman di Pondok Pesantren API Tegalrejo)
Oleh
Chikmatusaroya
Program Studi Ilmu Al-Quran dan Tafsir
Sekolah Tinggi Agama Islam Sunan Pandanaran

Pendahuluan
            Indonesia adalah negara yang kaya akan tradisi dan budaya yang terus berkembang. Islam adalah agama mayoritas yang di naut oleh masyarakatnya. Akan tetapi lambat laun beberapa dari penganutnya mulai ingin membabat habis budaya yang sudah berkembang lama. Hal ini yang terkadang menjadikan rentan hubungan Antara pemuka agama yang notabene ingin memperluas ajarannya dengan para budayawan yang menjadi obyek penyebarannya.
            Sebenarnya, dalam dasar negara keberagaman Indonesia telah disatukan dengan Bhineka Tunggal Ika, yang itu berarti tidak diperbolehkannya perpecahan, saling berkonflik satu sama lain. Dengan adanya perbedaan tersebut bagaimana sikap kita agar semuanya berjalan dengan perdamaian dan keharmonisan. Di sini penulis akan sedikit mensajikan mengenai akulturasi budaya dengan acara keagamaan di Pondok Pesantren API Tegalrejo.

Sekilas tentang Pondok Pesantren API Tegalrejo
                        Asrama Perguruan Islam (API)Tegalrejo didirikan pada tanggal 15 September 1944 oleh KH.Chudlori yaitu seorang ulama yang juga berasal dari desa Tegalrejo.Beliau adalah menantu dari KH.Dalhar pengasuh Pondok Pesantren ”Darus Salam”Watucongol Muntilan Magelang.KH.Chudlori mendirikan Pondok Pesantren di Tegalrejo pada awalnya tanpa memberikan nama sebagaimana layaknya Pondok Pesantren yang lain.Baru setelah berkalai-kali beliau mendapatkan saran dan usulan dari rekan seperjuangannya pada tahun 1947 di tetapkanlah nama Asrama Perguruan Islam (API). mulai tahun 1977 jumlah santri sudah mencapai sekitar 1500-an. Inilah puncak prestasi KH.Chudhori di dalam membawa API ke permukaan umat. Adalah merupakan suratan taqdir, dimana pada saat API sedang berkembang pesat dan melambung ke atas, KH.Chudhori dipanggil kerahmatullah (wafat), sehingga kegiatan taklim wataalum terpaksa diambil alih oleh putra sulungnya (KH. Abdurrohman Ch) dibantu oleh putra Keduanya (Bp. Achmad Muhammad Ch). Peristiwa yang mengaharukan ini terjadi pada penghujung tahun 1977. Sudah menjadi hal yang wajar bahwa apabila disuatu pondok pesantren terjadi pergantian pengasuh, grafik jumlah santri menurun. Demikina juga API pada awal periode KH. Abdurrohman Ch jumlah santri menurun drastis, sehingga pada tahun 1980 tinggal sekitar 760-an. Akan tetapi, kemudia jumlah santri bias kembali meningkat sampai pada tahun 1922 menurut catatan sekretaris mencapai 2698 santri dan sekarang mencapai 5000-6000 santri.
            Masyarakat sekitar pondok pesantren sudah mengenal Islam, namun belum melaksanakan ajarannya dengan baik dan masih sedikit kejawen.

Prosesi Khataman sebagai Wadah Komunikasi Antara Budaya dan Islam
            Khataman adalah symbol bagi para santri yang sudah selesai dalam belajar. Biasanya acara ini dilaksanakan setiap setahun sekali dengan acara yang meriah. Bentuk khataman itu bermacam-macam, ada dengan pengajian oleh para kyai, dll. Beda halnya dengan acara khataman di Pondok Pesantren di Tegalrejo yang memasukkan berbagai budaya Indonesia sebagai event dari khataman tersebut.
            Acara khataman di Tegalrejo dilaksanakan selama satu minggu. Pada hari pertama acara khataman diisi diadkannya berbagai pagelaran di lapangan besar Tegalrejo atau biasa disebut dengan pasar malam. Di antaranya adalah pagelaran wayang, campursari, konser, dll.


Gigi band saat konser pada haflah di Tegalrejo
https://www.google.com/search?q=gedung+API+tegalrejo&client=firefox-a&rls=org.

Pasar malam ini berakhir sampai hari kelima. Pada hari keenam khataman pondok pesantren di isi dengan arak-arak budaya. Inilah yang menjadi keunikan dari pesantren ini. Arak-arak ini diikuti oleh seluruh santri denga menampilkan budayanya masing, selain itu juga diikuti oleh masyarakat luar. Jika dihitung bisa mencapai 250-300 kesenian. Hal ini berarti ribuan masyaraktat membaur dengan sntri di lingkungan masyarakat. Setelah itu, budaya yang terpilih akan tampil di depan ndalem kyai, biasanya di depan rumah KH. Ahmad Muhammad (Alm). 

Penampilan salah satu kesenian di malam arak-arak.
https://www.google.com/search?q=gedung+API+tegalrejo&client=firefox-a&rls=org.

            Menurut KH. Ahmad Muhammad (Alm), atau biasa disapa dengan Gus Muh, Islam ditempatkan berbareng tradisi (realitas objektif) masyarakat setempat. Hal ini membedakan dengan pemahaman tokoh Islam mainstream yang melihat tradisi Jawa sebagai sesuatu yang rendah di bawah Islam, dan pada akhirnya harus dipisahkan dari praktik ke-Islaman. Strategi di atas memiliki “nilai lebih” di masyarakat berupa kepemimpinan merakyat sekaligus merawat dan menguatkan aset dari kebudayaan lokal di Jawa Tengah. Banyak pelaku kesenian tradisional yang menjadikan Gus Muh sebagai pemimpin karena dirinya mampu menjembatani kemajemukan masyarakat lintas golongan bahkan lintas agama melalui kegiatan seni dan agama.
            Mereka yang selama ini jauh dari acara keagamaan bisa mendekat tanpa canggung keluar masuk pesantren dan mengikuti acara keagamaan. Sedangkan para santri tidak kehilangan akar budaya aslinya sekalipun setiap hari digodok dengan pendidikan keagamaan (ajaran dari Arab).
            Setelah itu pada hari ke tujuh, puncak dari prosesi khataman, adalah pengajian akbar yang di hadiri oleh puluhan warga dari berbagai daerah.

Pengasuh Pondok API Bp. KH. Abdurrahman Chudori saat sambutan di acara punch Khataman di Tegalrejo.
https://www.google.com/search?q=gedung+API+tegalrejo&client=firefox-a&rls=org.


Kesimpulan
            Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa, dengan adanya arak-arak budaya pada acara khataman di Tegalrejo, menjadikan komunikasi baik Antara orang awam dengan santri. Karena dengan hal itu mereka mulai masuk dangan mengikti acara keagamaan tanpa canggung dan santripun bisa menilik tradisi asalnya.




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Upacara Adat Ammateang

Upacara Adat Ammateang Bugis Oleh : Zulkifli (12010047) Prodi Ilmu Al-Quran dan Tafsir Sekolah Tinggi Agama Islam Sunan Pandanaran Pendahuluan Keanekaragaman budaya yang ada di Indonesia harus dipandang sebagai sebuah kekayaan bukan kemiskinan. Bahwa Indonesia tidak memiliki identitas adat dan   budaya yang tunggal bukan berarti tidak memiliki jati diri, namun dengan keanekaragaman adat dan budaya yang ada membuktikan bahwa masyarakat kita memiliki kualitas produksi adat dan budaya yang luar biasa, jika mengacu pada pengertian bahwa kebudayaan adalah hasil cipta manusia. Dengan demikian adat dan Budaya amupun tradisi akan selalu mengalami dinamis dan mendapatkan akulturasi dari berbagai aspek seperti ajaran islam. Pembahasan di sini menggali sebuah adat suku bugis di pulau bagian timur tepatnya di sulawesi selatan. Adat tersebut di kenal dengan nama Upacara Adat Ammateang yang mengalami akulturasi dengan islam yang sejalan dengan perkembangan zaman. Adat Upacara Adat

Budaya Lokal dan Islam di Kabupaten Kudus

Budaya Lokal dan Islam di Kabupaten Kudus Oleh : Miftahul Karim Pendahuluan Kabupaten Kudus merupakan sebuah kabupaten di Provinsi Jawa Tengah. Ibukota kabupaten ini adalah Kudus, terletak di jalur pantai timur laut Jawa Tengah antara Kota Semarang dan Kota Surabaya. Kota ini terletak kurang lebih 51 kilometer dari timur Kota Semarang. Kabupaten kudus berbatasan dengan Kabupaten Pati di timur, Kabupaten Grobogan dan Kabupaten Demak di selatan, serta Kabupaten Jepara di barat. Kudus merupakan penghasil rokok kretek terbesar di Jawa tengah dan juga merupakan kota santri. Kota ini merupakan pusat perkembangan agama Islam pada abad pertengahan. Selain sebagai penghasil rokok kretek terbesar dan sota santri, kudus juga merupakn kabupaten yang kaya akan kebudayaannya. Seperti dandangan, buka luwur, juga bulusan, serta berbagai macam ragam daerahnya yang menarik untuk diamati dan dipelajari. PEMBAHASAN Seperti banyak daerah di Indonesia, Kabupaten kudus juga memiliki ragam kebudayaan y

Selamatan Tujuh Bulanan (Tingkeban)

Selamatan Tujuh Bulan / Tingkeban Mufijatul Hasanah/ 12010028 Islam Budaya Lokal/ M. Sidqi, M. Hum Sekolah Tinggi Agama Islam Sunan Pandanaran A. Pendahuluan Proses terjadinya manusia merupakan peristiwa yang sangat menakjubkan, sebagai tanda keagungan Sang Pencipta. Berwujud dari benda yang tak bernilai /sperma secara bertahap berubah hingga akhirnya sempurna dan lengkap dengan anggota badan yang tersusun rapi dan rumit, bahkan dilengkapi dengan akal pikiran, budi pekerti dan perasaan. Ajaran Islam bisa dinyatakan telah kuat jika sudah mentradisi ditengah masyarakat muslim, sehingga tradisi menjadi sangat menentukan dalam keberlangsungan ajaran disaat tradisi itu telah menyatu dengan ajaran, karena tradisi merupakan darah daging dalam tubuh masyarakat, sementara mengubahnya adalah sesuatu yang sangat sulit, maka sangatlah bijaksana ketika tradisi tidak diposisikan berhadapan dengan ajaran, tetapi sebagai pintu masuk suatu ajaran. Dalam makalah ini sekilas dibahas tentang