Tradisi Sekaten
Oleh :
Zainudin
Program Studi
Al-Qur’an dan Tafsir
Sekolah Tinggi Agama Islam Sunan Pandanaran
Pendahuluan
Perayaan sekaten
sebagai upacara tradisional keagamaan islam merupakan ekspresi masuk dan
tersosialisasinya islam ke bumi nusantara. Tradisi sekaten mengandung tiga
dimensi penting yaitu, kulturisasi, religious, dan historis. Sekaten yang
menganut sejarahnya merupakan upacara tradisional keagamaan islam dalam
membentuk akhlak dan budi luhur, tetap dilestarikan oleh para pengganti Sri
Sultan Hamengkubuwana I.
Dengan ini dapat kita ambil kesimpulan
bahwa nilai sekaten mempunyai peran penting dalam dakwah islam, karena dalam
menyebarkan suatu agama dalam masyarakat yang sangat meninggikan adat tidaklah
mudah, seperti apa yang terjadi pada negri ini di awal masuknya ajaran islam.
Hindu-Budha merupakan
suatu kepercayaan awal yang masuk ke Indonesia sebelum islam datang. Hal
tersebut terbukti ketika kita mulai merunut kembali sejarah pada abad silam
ketika agama atau kepercayaan mulai berkembang di Indonesia.
Kiprah para wali atau
yang lebih dikenal dengan Walisanga sangat lah penting karena mereka memiliki
siasat tersendiri untuk memperkenalkan islam kepada masyarakat Indonesia yang
masih kental dengan kepercayaan lamanya yaitu Hindu-Budha, ditambah dengan
keadaan masyarakat jawa yang terkenal dengan sifatnya yang konservatif dan
sulit menerima ajaran baru apalagi yang bertentangan dengan adat jawa.
Di awal berdirinya
Keraton Yogyakarta Hadiningrat inilah para leluhur islam mengenalkan agamanya
yang dimasukkan dalam budaya Hindu-Budha dan jawa yang sering dikenal dengan
sebutan Islam Abangan atau Islam Kejawen tanpa meninggalkan pokok-pokok ajaran
islam itu sendiri. Salah satu cara memasukkan islam dalam budaya jawa yaitu
dengan diadakannya upacara-upacara adat yang dilakukan setiap hari-hari besar
agama islam. Seperti upacara adat yang terkenal di Yogyakarta adalah Upacara
Sekaten.
Sekaten dilaksanakan
guna memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad SAW. Dewasa ini nilai sekaten
yang merupakan salah satu jalan dakwah islam mulai mengalami degradasi karena
saat ini sekaten hanya dipandang sebagai suatu hiburan masyarakat baik local
maupun interlokal.
Pembahasan
Salah satu sarana dakwah para wali dalam mengembangkan islam di ranah jawa
ini adalah dengan sekaten. Sekilas mendengar nama sekaten sama sekali tidak
mengisyaratkan suatu ritual yang berbau islam. Akan tetapi sekaten sebenarnya
sarat makna dan mengandung nilai islami.
Istilah sekaten berasal dari bahasa arab yaituanlaa ilaa haillallah wa asyhadu
anna Muhammadar rosulullah”, yang artinya Tidak ada Tuhan selain Allah dan Nabi
Muhammad adalah utusannya. Syahadat inilah yang menjadi syarat keislaman
seseorang yang benar-benar ingin memeluk islam. Karena sekaten ini berkembang
di jawa, maka syahadatain lebih mudah diucapkan oleh masyarakat jawa
dengan sebutan sekaten.
Sekaten sendiri memiliki makna dalam bahasa jawa yang berarti sekati yang
artinya adalah setimbang. Tentunya diharapkan agar manusia bisa menimbang hal
yang baik dan yang buruk. Sehingga ketika kita menyebut kata sekaten kita
selalu diingatkan agar selalu berhati-hati dalam menimbang suatu hal.
Sekaten diperkenalkan
oleh Raden Patah di Demak pada abad 16. Saat itu orang jawa beralih
memeluk Agama Islam dengan mengucap syahadatain. Oleh karena itu,
penggunaan nama sekaten pada perayaan itu sangat terkenal. Perayaan
sekaten ini menjadi salah satu perayaan turun temurun di Keraton Yogyakarta
sehingga menjadi perayaan tahunan yang juga dirayakan oleh masyarakat.
Sejarah sekaten ini berawal dari Kerajaan Mataram yang beribukota di Surakarta
tahun 1755 yang kemudian pecah menjadi 2, ialah Kasunanan Surakarta yang
beribukota di Sala di bawah pimpinan Sri Sultan Pakubuwana III dan Kasultanan
Yogyakarta yang beribukota di Ambarketawang Gamping, kemudian pindah di kota
Yogyakarta di bawah pimpinan Sultan Hamengkubuwana X. Pemecahan Kerajaan
Mataram menjadi 2 ditentukan dalam perjanjian Gianti.
Pusaka keraton dibagi 2, seperti halnya gamelan Kasunanan Surakarta memperoleh
gamelan Kyai Guntursari dan Kasultanan Ngayogyakarta mendapat gamelan Kanjeng
Kyai Gunturmadu. Supaya seimbang lalu dibuat perangkat gamelan lainnya yang
diberi nama Kanjeng Kyai Nagawilaga, yang nantinya gamelan ini digunakan dalam
setiap perayaan sekaten dan menjadi alat musik khas perayaan sekaten.
Sekaten yang menjadi salah satu bentuk upacara adat Keraton Kasultanan
Yogyakarta pertama kali diadakan oleh Sri Sultan Hamengkubuwana I. Sehingga
sejarah sekaten menjadi bagian yang tak terpisahkan dari sejarah berdirinya
Kraton Yogyakarta. Sri Sultan berkehendak menyelenggarakan upacara yang selalu
diselenggarakan oleh raja-raja sebelumnya. Hal ini sebagai usaha melestarikan adat
dan menunjukkan sikap tradisional orang jawa dalam memuliakan leluhurnya.
Adanya upacara sekaten
juga ini tidak bisa terlepas dari peran penting Masjid Agung Demak yang
didirikan oleh Walisanga pada tahun 1477 M. Awalnya masjid ini hanya berfungsi
sebagai tempat interaksi antara Allah dengan hambanya. Seiring berjalannya
waktu masjid ini menjadi multi fungsi karena digunakan sebagai ajang kegiatan
keagamaan, tempat musyawarah para wali, dan sebagai prasarana penyelenggaraan
perayaan sekaten yang merupakan perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW yang
bertepatan pada tanggal 12 bulan Maulid.
Sekaten bukan saja upacara yang berlangsung dalam waktu yang singkat, tetapi
sekaten melalui beberapa ritual yang tertata rapi dan penuh makna. Di bawah ini
adalah serangkaian prosesi dari awal mulainya upacara sekaten dimulai sampai
penutup.
1) Perayaan
Upacara Sekaten diawali dengan diadakannya slametan atau wilujengan yang
memiliki tujuan untuk mencari ketenangan. Dengan adanya slametan ini berarti dimulali
lah pembuatan gunungan. Perayaan ini juga menjadi pertanda akan adanya kegiatan
pasar malam perayaan sekaten. Pasar malam ini berlangsung kurang lebih 40 hari
sebelum perayaan grebeg maulud tiba.
2) Satu
minggu sebelum puncak acara, merupakan adat kebiasaan yang harus dilakukan
yaitu mengeluarkan gamelan pusaka dibawa ke Masjid Agung Yogyakarta untuk
diletakkan di pagongan utara dan pagongan selatan atau miyos gongso. Selama
satu minggu gamelan dibunyikan terus kecuali hari Jum’at.
3)
Rangkaian upacara sekaten yang kedua ialah Upacara Numplak Wajik, upacara ini
sebagai awal dimulainya pembuatan gunungan wadon. Upacara ini diawali dengan
iringan gejog lesung yang dilakukan oleh abdi dalem konco gladhak. Tujuannya
agar dalam pembuatan gunungan wadon dapat berjalan lancar. Sebelum upacara
dimulai diberi sesaji oleh abdi dalem agar dalam pembuatan gunungan ini tidak
mengalami hambatan. Kemudian upacara siap dimulai.
4) Acara
selanjutnya dilaksanakan miyos dalem di Masjid Agung Yogyakarta. Acara ini
dihadiri oleh Sri Sultan, pembesar keraton, para bupati, abdi dalem keraton,
dan mas jogja. Miyos dalem ini merupakan pembacaan sirotun nabi (Riwayat hidup
Nabi Muhammad). Sebelum miyos dimulai Sri Sultan menyebar udhik-udhik di depan
pintu pagongan selatan dan pagongan utara. Miyos dalem berakhir dengan ditandai
pelaksanaan kondur gongso atau gamelan dibawa masuk lagi ke keraton. Pada saat
miyos ini Sri Sultan menuju ke masjid agung didahului 4 bergodo prajurit.
Prosesi ini menandai berakhirnya pelaksanaan upacara sekaten yang akan mencapai
puncak acara pada keesokan harinya.
5) Sebagai
rangkaian upacara terakhir dari tradisi sekaten yaitu puncak acara grebeg
maulud, yang ditandai dengan dikeluarkannya hajad 6 gunungan tepat tanggal 12
bulan Maulud. Gunungan dibawa ke masjid untuk didoakan yang dipimpin oleh
penghulu dan kemudian gunungan menjadi rebutan masyarakat yang hadir.
Ada beberapa makna dan nilai-nilai religi, sejarah, dan kebudayaan yang
tersirat di dalam upacara grebeg maulud di atas, yaitu:
Ø
Nilai Religi
Di dalam salah satu
ritual sekaten ada sesi pembacaan riwayat Nabi Muhammad sebagai salah satu
utusan Allah yang diperntahkan sebagai rahmatan lil alamin yang memiliki
kepribadian dan akhlak yang mulia, sehingga upacara tradisional ini sangat
berperan dalam membentuk akhlak dan budi pekerti luhur. Tradisi ini pun dimulai
sebagai upacara religius keislaman yang bercorak kejawen dengan segala hikmah
dan berkah.
Ø
Nilai Sejarah
Di lihat dari
sejarahnya sekaten tidak bisa terlepas dari peran para wali sebagai penyebar
agama islam di Pulau Jawa yang menjadikan sekaten suatu sarana dakwah islam dan
berkaitan dengan keberadaan sultan sebagai ahli waris dari Kerajaan Mataram
sebagai pencetus awal diadakannya sekaten. Sehingga yang harus dilakukan untuk
merealisasikan nilai-nilai sejarah adalah dengan tetap memaknai sekaten sebagai
media dakwah dan menerapkan nilai-nilai itu dalam kehidupan sehari-hari
Ø
Nilai Budaya
Nilai sekaten sangat relevan dengan kebudayaan, karena sekaten merupakan
percampuran antara kebudayaan jawa, Hindu-Budha, dan islam. Dimana kebudayaan
jawa sangat gemar sekali menyelipkan makna tersirat dalam bentuk simbol atau
lambang pada setiap kejadian penting, dan kebudayaan Hindu-Budha yang
peribadatannya sangat erat dengan ritual-ritual. Hal ini lah yang menjadi
inspirasi para wali dalam mengemas ajaran islam dalam budaya jawa, hindu dan
budha yang terangkai dalam upacara adat sekaten. Di dalam sekaten ada yang
disebut gunungan yang mempunyai arti lambang kemakmuran, digunakan sirih yang
mengeluarkan warna merah yang berarti diharapkan bisa menyadarkan manusia akan
dirinya, nginang memiliki makna dapat membuat awet muda, dan telur merah
sebagai lambang dari kehidupan.
Kesimpulan
Sejarah
perayaan sekaten tidak terlepas dari peran penting Masjid Agung Demak yang
didirikan Walisanga. Masjid inilah yang dijadikan sebagai tempat perayaan
lahirnya Nabi Muhammad. Penggunaan nama sekaten syarat makna dan nilai. Kata
sekaten diambil dari kata syahadat yang merupakan syarat keislaman seseorang.
Di jawa kata syahadatain ini lebih mudah diucap dengan kata sekaten.
Sekaten bukan lah
upacara adat biasa, akan tetapi sekaten memiliki nilai dan makna yang tersirat
dalam setiap prosesi ritualnya. Seperti adanya nilai religi, sejarah, dan
budaya. Sebagai masyarakat jawa yang terkenal dengan adat ketimuran dan selalu
menjaga amanah dari para leluhurnya agar senantiasa melestarikan upacara adat
yang diprakarsai oleh para leluhur seperti upacara sekaten yang penuh misi
sebagai sarana dakwah islam. Tidak ada salahnya jika sekaten yang dari masa ke
masa selalu mengalami perubahan dan kemajuan, karena mengingat adanya
perkembangan zaman. Akan tetapi tidak seharusnya hal itu mengurangi
pokok-pokok dan nilai yang terkandung di dalamnya. Apalagi sampai merubah
tujuan awal dari sekaten itu sendiri.
Komentar
Posting Komentar