Langsung ke konten utama

Suronan



SURONAN
(Nyadran untuk Memperingati 1 Suro: desa Giyanti,Selomerto, Wonosobo)
Oleh:
Siti Sulaehah
(12010043)
Progam Studi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir
Sekolah Tinggi Agama Islam Sunan Pandanaran

Pendahuluan
Budaya dan tradisi bagi orang Jawa tidaklah merupakan barang baru serta asing dalam kehidupan, karena sudah dianggap suatu bagian kehidupan yang tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan sehari-hari. Tradisi telah diakui keberadaannya sebagai sebuah sistem budaya dalam bentuk simbol-simbol yang sangat rumit, penuh nilai-nilai di dalamnya.
Karya budaya dan tradisi dalam masyarakat pendukungnya, merupakan sumber inspirasi yang tidak pernah habis digali dan dikembangkan nilai-nilainya.
Orang orang tradisional Jawa yang tinggal di Jawa maupun bagian lain Indonesia banyak yang merayakan 1 Suro yang dipandang sebagai hari sakral. Secara tradisi turun temurun, kebanyakan orang  mengharapkan “ ngalap berkah” mendapatkan berkah pada hari besar yang suci ini. Pada malam 1 suro, biasanya orang melakukan laku prihatin untuk tidak tidur semalam suntuk atau selama 24 jam. 1 Suro adalahTahun Baru menurut kalender Jawa. Berbeda dengan perayaan Tahun Baru kalender Masehi yang setiap tanggal 1 Januari dirayakan dengan nuansa pesta, orang Jawa tradisional lebih menghayati nuansa spiritualnya.
Perayaan 1 suro di Gayati, Selomerto, Wonosobo dengan melakukan tradisi nyadran, Saya akan sedikit membahas mengenai tradisi nyadran yang ada di desa Gayati untuk memperingati hari besar 1 suro bagi umat Muslim.
Kondisi desa Giyanti
            Mayoritas warga desa Giyanti sebagian besar adalah seorang muslim, sekaitar 80% beragama Islam dan 20% beragama non Muslim (kristen). Tanah disana subur, mata pencaharian warga di Giyanti kebanyakan seorang petani, namun ada juga yang bekerja sebagai PNS, dll. Hubungan antara muslim dan non muslim di desa ini sangat erat, seperti tidak ada perbedaan, mereka akrab dan saling menghormati keyakinan masing-masing.
            Biaya yang digunakan untuk acara yang semeriah ini didapat dari warga, setiap minggunya pasti ada acara pengajian dan perkumpulan pemuda-pemudi dan kemudian pada saat itu mereka menyetorkan uang semacam khas untuk desa  pada bendahara di desa giyanti untuk dikumpulkan dan di gunakan pada acara tersebut.
Nyadran
Salah satu tradisi yang masih dipertahankan dan tetap berfungsi dalam masyarakat yang semakin mengglobal adalah tradisi Nyadran di Wonosobo. Upacara Nyadran ini  masih dipercaya dan difungsikan masyarakat sebagai warisan turun-temurun dari nenek moyang yang percaya bahwa nenek moyang mereka juga berperan dengan kemakmuran serta ketentraman warga masyarakat.
Tradisi Nyadran tetap bertahan dengan berbagai upaya adaptasi dengan perkembangan zaman. Keberlangsungan tradisi ini juga dipengaruhi oleh kebermaknaan upacara Nyadran yang berfungsi ritual. Integrasi dari berbagai pihak baik masyarakat, seniman, pemuka adat, tokoh agama serta dinas pemerintah terkait memperkuat tetap lestarinya adat tradisi Nyadran ini. Pemeliharaan pola-pola yang sudah ada, tetap dipertahankan oleh masyarakat dengan harapan tradisi Nyadran dapat dikenal masyarakat secara luas.
Tradisi Upacara Nyadran untuk Memperingati 1 Suro
Tradisi upacara Nyadran merupakan kegiatan rutinitas tahunan setiap 1 Suro di daerah Wonosobo tepatnya di desa Giyanti, Selomerto, Wonosobo. Nyadran ini dilakukan sebagai bentuk rasa syukur atas keberkahan yang melimpah dan permohonan keselamatan. Sebelum acara inti Nyadran masyarakat membuka rumah mereka untuk acara beranjangsana atau silaturaahmi dengan tujuan mempererat hubungan secara individu maupun kemasyarakatan. Adapun prosesi Upacara Nyadran ini terdiri dari beberapa rangkaian kegiatan yaitu:
a. Nyadran di Makam
 Nyadran mempunyai makna mengunjungi makam leluhur yang dikeramatkan. Mengunjungi beberapa makam leluhur, seperti pendiri desa dan kyai yang dipercaya atau jadi panutan di desa. Masyarakat melakukan mujahadah di makam dengan tujuan berdo’a dan mencari berkah (ngalab berkah) untuk kesejahteraan masyarakat.

b. Tenongan
   Tenongan adalah sebuah wadah yang terbuat dari anyaman bambu berbentuk bulat dan memiliki tutup bulat juga. Tenongan digunakan untuk wadah makanan atau jajan pasar berupa pala kependem misalnya; ketela pohon, ketela rambat, kacang tanah serta umbi-umbian yang lain. Berbagai macam buah-buahan, nasi dan lauk lengkap, bubur, jagung, kerupuk, ketimun dan masih banyak jenis makanan yang lain. Tenongan dibawa ke pendopo (tempat berkumpulnya para warga). Lihat gambar 0.01 dan 0.02

Gambar 0.01 (pada saat warga membawa tenongan)
Gambar 0.02 (isi dari tenongan)

c.  Prosesi Upacara di Pendopo Desa.
Prosesi di Pendopo desa diawali peletakan Tenongan, dan melakukan mujahadah secara bersama-sama dengan tujuan untuk memohon ampunan kepada Tuhan yang Maha Esa, juga memohon agar desa ini mendapatkan perlindungan dan menjadi desa yang tentram. Dan juga bertujuan untuk menjalin silaturahmi antar warga.
d. Rakanan.
Rakanan adalah pembagian makanan yang ada dalam tenongan. Warga bebas untuk mengambil makanan yang sudah disiapkan warga desa secara berebutan ( rayahan).
e. Festival Emblek
 Pada upacara Nyadran selalu dimeriahkan oleh berbagai pertunjukkan seni diantaranya Festival Emblek yang diikuti dari beberapa desa. Emblek atau kuda lumping menggambarkan para prajurit  berkuda, karena kesenian ini mengambil ceritra babad Kediri atau kisah Raden Panji Asmorobangun. Dikisahkan, Raden Panji dari Kerajaan Jenggala, bersambung asmara dengan Dewi Sekartaji (Dewi Candrakirana), Putri Raja Kediri.Komposisi tari Emblek pada umumnya adalah terdiri dari 7 orang penari dengan rincian 1 pimpinan pasukan berkuda dan 6 Prajurit. Property yang digunakan diantaranya kuda yang terbuat dari kepang (emblek), senjata seperti pedang dan tombak kecil. Bentuk tari Emblek di Wonosobo sudah mengalami perkembangan terutama pada penggarapan estetika gerak dan busana yang digunakan lebih variatif. Lihat gambar 0.03

Gambar 0.03 (tarian emblek)
f.  Lenggeran
Kesenian Topeng Lengger sangat populer di kalangan masyarakat Wonosobo, karena selain sebagai tontonan juga bermakna sebagai tuntunan. Pada acara Nyadran tari Topeng Lengger dipertunjukkan pada malam hari sebelum ritual nyadran keesokan harinya oleh Sanggar Tari Sekar Budhaya Wonosobo. Beberapa wanita penari Lengger menari dengan penari pria yang memakai topeng. Menurut keterangan Dwi Pranyoto seorang seniman topeng yang dipakai penari mempunyai kekuatan mistik. Penari memakai topeng berbagai macam sesuai karakter tokoh yang diperankannya. Kemudian ada adegan dimana penari kesurupan. Pertunjukkan tari Topeng Lengger merupakan gabungan dari tari Emblek, dan Lenggeran yang menyatu dalam suatu cerita. Pertunjukan berakhir pukul 01.00 wib.
Siang harinya tari Lengger dipertunjukaan di pendopo dengan format yang berbeda. Pertama dipertunjukkan Lengger.Kemudian dilanjutkan penampilan tari Lengger garapan Dwi Pranyoto dengan penari wanita dan seorang pria yang pada waktu menari trance (kesurupan) dibantu 3 orang pawang atau dukun. Kemudian beratraksi makan bunga setaman dan semprong ( penutup lampu minyak dari kaca ). Pencipta menggabungkan tari Bondhan Rangu-rangu dalam sajian Lenggernya, penari lengger membawa boneka dan payung menari di atas pundak penari pria dengan berputar-putar.
Perkembangan tari Lengger diharapkan dapat tetap melestarikan keberadaan tari itu sendiri dan tetap diminati semua masyarakat. Lihat gambar 0.04 dan 0.05


Gambar 0.04

Gambar 0.05 (contoh gambar lenggeran)
g. Wayang Kulit
Wayang mempunyai fungsi sebagai tontonan dan tuntunan yang didalamnya terdapat keindahan bentuk dan keindahan isi. Wayang kulit dalam arti lahir sebagai tontonan, dapat menjadi wayang purwa dalam arti batin yang berisi tuntunan. Hal ini debedakan karena fungsi kelir sebagai latar depan atau latar belakang. Wayang kulit dalam artian lahir yaitu kulit yang diprada dengan warna-warni. Kelir merupakan tempat dalang dan menjadi latar belakang boneka kulit yang warna-warni itu dan menjadi tontonan . Wayang Purwo dalam artian batin merupakan tuntunan. Kelir menjadi latar depan yang transparan dan menjadikan wayang kulit menjadi bayang-bayang kehidupan. Dalang dan wayang ada dibalik kelir.
Demikian pula wayang kulit yang dipergelarkan dalam rangkaian acara ritual Nyadran dapat menjadi tontonan menarik serta tuntunan bagi masyarakat  penikmatnya. Pertunjukan wayang kulit pada acara Nyadran dipentaskan malam penutupan dari serangkaian acara di depan rumah Kadus.

Penutup
Secara tradisi turun temurun, kebanyakan orang  mengharapkan “ ngalap berkah” mendapatkan berkah pada hari besar yang suci ini. Pada malam 1 suro, biasanya orang melakukan laku prihatin untuk tidak tidur semalam suntuk atau selama 24 jam. 1 Suro adalahTahun Baru menurut kalender Jawa. Berbeda dengan perayaan Tahun Baru kalender Masehi yang setiap tanggal 1 Januari dirayakan dengan nuansa pesta , orang Jawa tradisional lebih menghayati nuansa spiritualnya.
Menghadapi dan menyikapi arus globalisasi khususnya dalam penciptaan, pelestarian dan pengembangan tradisi hendaknya tetap memegang nilai-nilai tradisi. Seni tradisi dapat menjadi inspirasi penciptaan tradisi yang berperspektif global mengikuti perkembangan zaman tanpa meninggalkan ketradisionalan yang ada.
Nilai-nilai budaya lokal yang luhur berupa semangat solidaritas, demokrasi, etika, moralitas dapat dimaknai bersama oleh masyarakat Indonesia meskipun budaya barat semakin besar berpengaruh pada kehidupan sekarang ini.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Upacara Adat Ammateang

Upacara Adat Ammateang Bugis Oleh : Zulkifli (12010047) Prodi Ilmu Al-Quran dan Tafsir Sekolah Tinggi Agama Islam Sunan Pandanaran Pendahuluan Keanekaragaman budaya yang ada di Indonesia harus dipandang sebagai sebuah kekayaan bukan kemiskinan. Bahwa Indonesia tidak memiliki identitas adat dan   budaya yang tunggal bukan berarti tidak memiliki jati diri, namun dengan keanekaragaman adat dan budaya yang ada membuktikan bahwa masyarakat kita memiliki kualitas produksi adat dan budaya yang luar biasa, jika mengacu pada pengertian bahwa kebudayaan adalah hasil cipta manusia. Dengan demikian adat dan Budaya amupun tradisi akan selalu mengalami dinamis dan mendapatkan akulturasi dari berbagai aspek seperti ajaran islam. Pembahasan di sini menggali sebuah adat suku bugis di pulau bagian timur tepatnya di sulawesi selatan. Adat tersebut di kenal dengan nama Upacara Adat Ammateang yang mengalami akulturasi dengan islam yang sejalan dengan perkembangan zaman. Adat Upacara Adat

Budaya Lokal dan Islam di Kabupaten Kudus

Budaya Lokal dan Islam di Kabupaten Kudus Oleh : Miftahul Karim Pendahuluan Kabupaten Kudus merupakan sebuah kabupaten di Provinsi Jawa Tengah. Ibukota kabupaten ini adalah Kudus, terletak di jalur pantai timur laut Jawa Tengah antara Kota Semarang dan Kota Surabaya. Kota ini terletak kurang lebih 51 kilometer dari timur Kota Semarang. Kabupaten kudus berbatasan dengan Kabupaten Pati di timur, Kabupaten Grobogan dan Kabupaten Demak di selatan, serta Kabupaten Jepara di barat. Kudus merupakan penghasil rokok kretek terbesar di Jawa tengah dan juga merupakan kota santri. Kota ini merupakan pusat perkembangan agama Islam pada abad pertengahan. Selain sebagai penghasil rokok kretek terbesar dan sota santri, kudus juga merupakn kabupaten yang kaya akan kebudayaannya. Seperti dandangan, buka luwur, juga bulusan, serta berbagai macam ragam daerahnya yang menarik untuk diamati dan dipelajari. PEMBAHASAN Seperti banyak daerah di Indonesia, Kabupaten kudus juga memiliki ragam kebudayaan y

Selamatan Tujuh Bulanan (Tingkeban)

Selamatan Tujuh Bulan / Tingkeban Mufijatul Hasanah/ 12010028 Islam Budaya Lokal/ M. Sidqi, M. Hum Sekolah Tinggi Agama Islam Sunan Pandanaran A. Pendahuluan Proses terjadinya manusia merupakan peristiwa yang sangat menakjubkan, sebagai tanda keagungan Sang Pencipta. Berwujud dari benda yang tak bernilai /sperma secara bertahap berubah hingga akhirnya sempurna dan lengkap dengan anggota badan yang tersusun rapi dan rumit, bahkan dilengkapi dengan akal pikiran, budi pekerti dan perasaan. Ajaran Islam bisa dinyatakan telah kuat jika sudah mentradisi ditengah masyarakat muslim, sehingga tradisi menjadi sangat menentukan dalam keberlangsungan ajaran disaat tradisi itu telah menyatu dengan ajaran, karena tradisi merupakan darah daging dalam tubuh masyarakat, sementara mengubahnya adalah sesuatu yang sangat sulit, maka sangatlah bijaksana ketika tradisi tidak diposisikan berhadapan dengan ajaran, tetapi sebagai pintu masuk suatu ajaran. Dalam makalah ini sekilas dibahas tentang