Langsung ke konten utama

Budaya Lengger Wonosobo

Kesenian Lengger Wonosobo
Oleh:
Inayatus Sholihah (12010017)
Program Studi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir
Sekolah Tinggi Agama Islam Sunan Pandanaran

Pendahuluan
Kabupaten Wonosobo merupakan wilayah yang ada di Jawa Tengah. Seperti kebanyakan wilayah yang ada di Jawa Tengah, Wonosobo adalah wilayah di mana agama Islam disebarkan oleh para wali, khususnya Sunan Kalijaga dan salah satu sarana atau media dakwah yang digunakan adalah dengan menggunakan pendekatan seni atau budaya. Dalam dakwah, Sunan Kalijaga sangat toleran terhadap budaya lokal. Ia berpendapat bahwa masyarakat akan menjauh jika diserang pendiriannya. Maka harus didekati secara bertahap: mengikuti sambil mempengaruhi. Sunan Kalijaga berkeyakinan jika Islam sudah dipahami, dengan sendirinya kebiasaan lama akan hilang.

Ajaran Sunan Kalijaga terkesan sinkretis dalam mengenalkan Islam. Ia menggunakan seni ukir, wayang, gamelan, seni tari, serta seni suara suluk sebagai sarana dakwahnya. Melalui media-media tersebut Sunan Kalijaga berusaha menghapuskan tradisi dan budaya masyarakat Hindu dan Budha yang bertentangan dengan ajaran Islam, yaitu dengan cara membiarkan tradisi dan budaya itu berkembang di masyarakat, tapi substansi dari budaya itu yang sebelumnya bertentangan dengan ajaran Islam, diganti dan diisi dengan warna Islam yang kental dengan ajaran tauhid. Metode dakwah Sunan Kalijaga tersebut sangat efektif, terbukti sebagian besar wilayah Jawa, khususnya Jawa Tengah menerimanya dan kemudian masyarakat Jawa yang semula beragama Hindu dan Budha berbondong-bondong memeluk agama Islam.

Kesenian atau tari Lengger dari Wonosobo merupakan akulturasi dari kebudayaan Hindu dan Budha dengan Islam yang dihasilkan oleh Sunan Kalijaga, dan masih dilestarikan sampai saat ini. Namun, pada saat ini masyarakat luas dan masyarakat wonosobo sendiri kurang memahami arti dan fungsi Lengger yang sebenarnya. Melalui tulisan ini, penulis berharap pembaca akan memahami arti dan fungsi Lengger yang sebenarnya.

Sejarah Tari Lengger Tari Lengger menurut ceritanya sudah ada sejak zaman pemerintahan Prabu Brawijaya yang kemudian diadopsi oleh agama Islam untuk menyebarkan agama Islam diseluruh Nusantara. Tari ini berawal ketika Raja Brawijaya yang kehilangan putrinya, Dewi Sekartaji, mengadakan sayembara untuk memberikan penghargaan bagi siapa pun yang bisa menemukan sang putri. Bila pria yang menemukan akan dijadikan suami sang putri dan jika wanita maka akan dijadikan saudara. Sayembara yang dikuti oleh banyak ksatria ini akhirnya tinggal menyisakan dua peserta yaitu Raden Panji Asmoro Bangun yang menyamar dengan nama Joko Kembang Kuning dari Kerajaan Jenggala. Satu lagi, Prabu Klono dari Kerajaan Sebrang, merupakan orang yang menyebabkan sang putri kabur karena sang raja menjodohkannya.

Dalam pencarian tersebut, Joko Kembang Kuning yang disertai pengawalnya menyamar sebagai penari keliling yang berpindah-pindah dari satu desa ke desa lain. Lakon penarinya adalah seorang pria yang memakai topeng dan berpakaian wanita dengan diiringi alat musik seadanya. Ternyata dalam setiap pementasannya tari ini mendapat sambutan yang meriah. Sehingga dinamai Lengger, yang berasal dari kata ledek (penari) dan ger atau geger (ramai atau gempar). Hingga di suatu desa, tari Lengger ini berhasil menarik perhatian Putri Dewi Sekartaji dari persembunyiannya.

Namun pada saat yang bersamaan Prabu Klono juga telah mengetahui keberadaan Sang Putri, mengutus kakaknya Retno Tenggaron yang disertai prajurit wanita untuk melamar Dewi Sekartaji. Namun lamaran itu ditolak Dewi sehingga terjadilah perkelahian dan Retno Tenggaron yang dimenangi Sang Putri.Sementara Prabu Klono dan Joko Kembang Kuning tetap menuntut haknya pada raja. Hingga akhirnya raja memutuskan agar kedua kontestan itu untuk bertarung. Dalam pertarungan, Joko Kembang Kuning yang diwakili oleh Ksatria Tawang Alun berhasil menewaskan Prabu Klono. Di akhir kisah Joko Kembang Kuning dan Dewi Sekartaji menikah dengan pestanya disemarakkan dengan hiburan Tari Topeng Lengger. Lengger yang pada zaman Kerajaan Hindu Brawijaya merupakan Ledek Geger (penari yang mengundang keramaian), mengalami perkembangan saat kerajaan-kerajaan Islam mulai berdiri. Sunan Kalijaga yang merupakan salah satu wali yang menggunakan pendekatan seni dan budaya dalam berdakwah, menjadikan tari Lengger sebagai media untuk mensyiarkan Islam.

Lengger, “Elinga Ngger”

Tari Lengger berasal dari kata “elinga ngger”. Yang artinya ingatlah nak. Lengger tersebut bermakna petuah atau nasehat agar kita selalu ingat kepada Tuhan yang Maha Esa, untuk b atau berbuat baik kepada semua orang. Pada saat itu, hiburan yang disenangi oleh masyarakat adalah Tayub atau Ledek. Pada saat masyarakat sedang mengadakan hiburan Tayub atau Ledek, Sunan Kalijaga hadir pula ditengah-tengah para penonton. Apabila sudah tiba saatnya untuk sholat, baik itu sholat Dzuhur, ‘Ashar, Maghrib, Isya’, maupun Shubuh, Sunan Kalijaga selalu mengingatkan dengan kata elinga ngger iki wis wayahe padha shalat age padha shalat dhisik (ingatlah nak saatnya sholat, mari kita sholat dulu). Dengan kata elinga ngger maka timbul kata Lengger

Selain itu, ada juga yang mengartikan bahwa Lengger berasal dari kata Langgar atau Musholla. Upaya yang dilakukan Sunan Kalijaga untuk menarik minat orang-orang agar mau datang dan mengaji di Langgar adalah dengan cara menggelar kesenian tari di sekitar Langgar. Maka dari itu, kesenian tari tersebut dinamakan Lengger.

Lengger dan Perkembangannya
Pada zaman dulu, lengger dipentaskan dalam ritual keagamaan, yang penarinya adalah laki-laki. Mengingat perempuan selalu mendapat haid, sementara untuk ritual keagamaan orang yang melakukan ritual tersebut haruslah suci. Jadi, para penarinya dipilih laki-laki. Namun, dalam perkembangannya para penari lengger yang semula dimainkan oleh laki-laki diganti dan disertakan penari perempuan karena ditakutkan jika penarinya laki-laki tidak ada yang menonton.

Di Wonosobo, tari lengger dirintis di Desa Giyanti oleh tokoh kesenian tradisional setempat, yaitu Bapak Gondowinangun pada tahun 1910. Kemudian pada tahun 60-an tarian ini dikembangkan oleh Alm. Ki Hadi Soewarno yang kemudian menjadi tarian khas dihampir seluruh Desa yang ada di Wonosobo, termasuk di Desa penulis yakni Desa Timbang. Kesenian Lengger biasa ditampilkan ketika ada pesta rakyat, Hut RI, merdi desa atau hanya untuk hiburan biasa.

Pentas Lengger
Waktu pentas kesenian Lengger dimulai dari pukul 20.00 sampai 24.00 bahkan ada yang sampai pagi. Sebelum pentas, tari Lengger diawali dengan sajian karawitan gending Patalon sebagai pertanda akan dimulai. Setelah itu dilanjutkan tembang Babadono, pada saat lagu Tolak Balak untuk menolak semua gangguan, seorang pawing tampil dengan membawa sesajen (kembang kanthil, mawar merah putih, sambal terasi, keluban tales, singkong bakar, terong lampu, gelas kembang, timun, bengkoang dan kemenyan). Setelah sesaji dianggap cukup seorang pawang tersebut membaca mantra sambil membakar kemenyan. Ini semua dimaksudkan untuk meminta kepada roh Endang (roh wanita pelindung mereka) agar mau turut merasuki para pemain dan melindungi semua pemain selama pentas seni Lengger berlangsung, agar terhindar dari gangguan dan marabahaya. Adapun pakaian yang digunakan penari Lengger terdiri dari: jarit, kebaya, pakaian ubetan selendang, bulu diatas kepala. Sedangkan rias yang digunakan aleh penari adalah terdiri dari: bedak, eye shadow, pensil alis dan lipstick.

Dalam setiap pentasnya, setelah penari menarikan tariannya beberapa saat, seringkali muncul penari pria. Penari pria tersebut muncul sebagai pasangan dari penari perempuan, yang seringkali menandakan klimaks pentas Lengger tersebut. Penari pria biasanya sampai kesurupan, kemasukan roh-roh jahat, dan bahkan sampai bisa makan beling atau kaca. Hal semacam inilah yang biasanya menjadi daya tarik para penonton untuk menyaksikan pentas Lengger.

Fariasi pada kesenian lengger adalah adanya barongan. Mirip dengan kesenian barongsai yang berasal dari Tionghoa. Sehari sebelum tampil biasanya alat yang akan di gunakan di magiskan (Ritual) agar orang yang memakai dapat kesurupan. Tetapi ada juga yang tidak menggunakan ritual, tanpa mengurangi keindahan dan estetika Kesenian Lengger tersebut.




Pro dan Kontra terhadap Lengger

Di Wonosobo pada umumnya, dan di Desa Timbang pada khususnya, kesenian Lengger mengalami perkembangan, yaitu perubahan fungsi dari ritual keagamaan menjadi hiburan saja, ternyata banyak menuai pro dan kontra masyarakat, dimana Lengger tersebut dimainkan. Di Desa Timbang, Wonosobo, tidak ada kontra dari aparat pemerintah Desa mengenai diselenggarakannya kesenian Lengger tersebut. Namun dari kalangan agama, terdapat pro dan kontra terhadap kesenian Lengger. Sebagian berpendapat bahwa kesenian lengger tersebut dilarang dipentaskan, apalagi jika pentas tersebut dilakukan di ritual-ritual keagamaan ataupun di tempat-tempat dimana ritual-ritual agama dilaksanakan, seperti di Musholla, Masjid, Majlis Taklim, dll. Namun, ada sebagian yang berpendapat bahwa kesenian Lengger diperbolehkan. Golongan yang berpendapat seperti ini kiranya mencontoh strategi dakwah walisongo, terutama Sunan Kalijaga dalam mendakwahkan Islam. Islam tetap didakwahkan kepada masyarakat dengan cara halus dan perlahan. Masyarakat tetap diperbolehkan melangsungkan pentas Lengger, namun juga diajak untuk melaksanakan ritual-ritual Islam. Masyarakat yang diperbolehkan untuk melakukan pentas Lengger, dapat menerima Islam. Perilaku abangan masyarakat ini semakin lama semakin hilang, berganti dengan pelaksanaan-pelaksanaan Islam dalam melakukan ritual-ritual keagamaan. Walaupun kesenian Lengger yang ada telah berubah fungsi menjadi hiburan saja, dan tetap mereka jaga kelestariannya, namun agama Islam pun semakin berkembang maju.

Kesimpulan

Pada saat ini, ternyata strategi dakwah para wali, khusunya Sunan Kalijaga masih sangat diperlukan untuk digunakan. Terutama kepada masyarakat Jawa pedesaan yang masih abangan. Islam harus didakwahkan secara halus dan perlahan, menggandeng masyarakat yang mempunyai budaya dan kesenian warisan nenek moyang mereka dengan cara menggunakan budaya dan kesenian tersebut sebagai penyemangat mereka untuk mengenal Islam. Sesuai dengan QS. An Nahl (16): 125

ادع الى سبيل ربك بالحكمة والموعظة الحسنة وجادلهم بالتي هي احسن ... الاية

“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pengajaran yang baik, dan berdebatlah dengan mereka dengan cara yang baik…. “

Pada akhirnya, Islam akan berkembang maju dan budaya atau kesenian masyarakat yang berasal dari nenek moyang mereka tetap terjaga kelestariannya, sebagai asset budaya daerah. Di Desa Timbang, Wonosobo Islam semakin maju perkembangannya dan masyarakat tetap memiliki budaya dan kesenian yang bisa dilestarikan, yakni kesenian Lengger. Dari beberapa uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa yang terjadi di Desa Timbang, Wonosobo adalah pribumisasi Islam. Yakni berubahnya kesenian yang berasal dari Islam menjadi kesenian yang sama sekali tidak berbau Islam, namun tetap perlu dijaga kelestariannya.


Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Upacara Adat Ammateang

Upacara Adat Ammateang Bugis Oleh : Zulkifli (12010047) Prodi Ilmu Al-Quran dan Tafsir Sekolah Tinggi Agama Islam Sunan Pandanaran Pendahuluan Keanekaragaman budaya yang ada di Indonesia harus dipandang sebagai sebuah kekayaan bukan kemiskinan. Bahwa Indonesia tidak memiliki identitas adat dan   budaya yang tunggal bukan berarti tidak memiliki jati diri, namun dengan keanekaragaman adat dan budaya yang ada membuktikan bahwa masyarakat kita memiliki kualitas produksi adat dan budaya yang luar biasa, jika mengacu pada pengertian bahwa kebudayaan adalah hasil cipta manusia. Dengan demikian adat dan Budaya amupun tradisi akan selalu mengalami dinamis dan mendapatkan akulturasi dari berbagai aspek seperti ajaran islam. Pembahasan di sini menggali sebuah adat suku bugis di pulau bagian timur tepatnya di sulawesi selatan. Adat tersebut di kenal dengan nama Upacara Adat Ammateang yang mengalami akulturasi dengan islam yang sejalan dengan perkembangan zaman. Adat Upacara Adat

Selamatan Tujuh Bulanan (Tingkeban)

Selamatan Tujuh Bulan / Tingkeban Mufijatul Hasanah/ 12010028 Islam Budaya Lokal/ M. Sidqi, M. Hum Sekolah Tinggi Agama Islam Sunan Pandanaran A. Pendahuluan Proses terjadinya manusia merupakan peristiwa yang sangat menakjubkan, sebagai tanda keagungan Sang Pencipta. Berwujud dari benda yang tak bernilai /sperma secara bertahap berubah hingga akhirnya sempurna dan lengkap dengan anggota badan yang tersusun rapi dan rumit, bahkan dilengkapi dengan akal pikiran, budi pekerti dan perasaan. Ajaran Islam bisa dinyatakan telah kuat jika sudah mentradisi ditengah masyarakat muslim, sehingga tradisi menjadi sangat menentukan dalam keberlangsungan ajaran disaat tradisi itu telah menyatu dengan ajaran, karena tradisi merupakan darah daging dalam tubuh masyarakat, sementara mengubahnya adalah sesuatu yang sangat sulit, maka sangatlah bijaksana ketika tradisi tidak diposisikan berhadapan dengan ajaran, tetapi sebagai pintu masuk suatu ajaran. Dalam makalah ini sekilas dibahas tentang

Budaya Lokal dan Islam di Kabupaten Kudus

Budaya Lokal dan Islam di Kabupaten Kudus Oleh : Miftahul Karim Pendahuluan Kabupaten Kudus merupakan sebuah kabupaten di Provinsi Jawa Tengah. Ibukota kabupaten ini adalah Kudus, terletak di jalur pantai timur laut Jawa Tengah antara Kota Semarang dan Kota Surabaya. Kota ini terletak kurang lebih 51 kilometer dari timur Kota Semarang. Kabupaten kudus berbatasan dengan Kabupaten Pati di timur, Kabupaten Grobogan dan Kabupaten Demak di selatan, serta Kabupaten Jepara di barat. Kudus merupakan penghasil rokok kretek terbesar di Jawa tengah dan juga merupakan kota santri. Kota ini merupakan pusat perkembangan agama Islam pada abad pertengahan. Selain sebagai penghasil rokok kretek terbesar dan sota santri, kudus juga merupakn kabupaten yang kaya akan kebudayaannya. Seperti dandangan, buka luwur, juga bulusan, serta berbagai macam ragam daerahnya yang menarik untuk diamati dan dipelajari. PEMBAHASAN Seperti banyak daerah di Indonesia, Kabupaten kudus juga memiliki ragam kebudayaan y