Langsung ke konten utama

Sedekah Laut



Sedekah Laut Di Cilacap
Oleh:
Ngaliman (12010030)
Program Studi Ilmu Al-Qur’an Dan Tafsir
Sekolah Tinggi Agama Islam Sunan Pandanaran (STAISPA)

Pedahuluan
            Indonesia merupakan negara dengan keanekaragaman budaya dan agama yang sangat besar, seperti yang telah kita ketahui bahwa Indonesia merupakan negara kepulauan yang pada setiap pulaunya memiliki kultur yang berbeda-beda, dan hal ini seiring disebut sebagai multi etnis dan agama. Dalam hal ini, budaya dan agama sangat berkaitan erat, dikarenakan dalam studi antropologi istilah culture (budaya) secara etimologis berkaitan dengan sesembahan yang dalam bahasa latin berarti cultus dan cultur, sehingga budaya tercipta dari hasil pengaruh agama terhadap diri manusia.
            Keberagaman kultur budaya dan agama kehidupan bangsa Indonesia, tentunya tidak datang secara tiba-tiba yang merupakan anugrah Tuhan Yang Maha Esa, namun melalui beberapa tahapan perkembangan sejarah negara. Mulai dari sejarah warisan budaya pribumi masa lampau, hingga kedatangan pedagang-pedagang dari luar yang membawa kebudayaan dan agama bangsa mereka (kultur luar) ke wilayah Nusantara (khususnya Maluku dan Jawa).
            Sedekah laut merupakan bagian ritual “keagamaan” pada saat itu yang masih tertinggal hingga kini dalam lingkup keberlangsungan hidup nelayan. Ritual sedekah laut sangat kental terasa di wilayah Jawa khususnya Pantai selatan Jawa. Ritual sedekah laut dikenal pada masyarakat awam Jawa dengan definisi pemberian macam-macam sesaji kepada ratu kidul, sebagai bentuk rasa syukur (bertrima kasih) atas rejeki laut dan keselamatan yang telah diterima saat melaut.
Agama Islam mengajarkan kepada pemeluknya untuk melakukan kegiatan-kegiatan ritualistik seperti shalat, puasa, haji, dan lain-lain. Begitu juga dalam kepercayaan masyarakat Jawa terdapat kegiatan-kegiatan ritualistik seperti selamatan yang terwujud dalam sebuah upacara-upacara tertentu. Pada dasarnya daya kekuatan ghaib yang membahayakan bagi kelangsungan kehidupan manusia. Hal ini seperti yang dilakukan oleh masyarakat Cilacap di pantai Teluk Penyu, setiap tahun sekali mereka melakukan upacara Sedekah Laut dengan harapan mereka terbebas dari pengaruh buruk dari kekuatan ghaib dan senantiasa memdapatkan keselamatan. Seiring dengan perkembangan agama Islam di Cilacap upacara Sedekah Laut mengalami akulturasi antara Islam dan budaya lokal yang ada dan hidup sampai sekarang.

Sedekah Laut
            Tradisi sedekah laut adalah  membuang sesaji ke laut dengan maksud memberikan makanan kepada yang mbaurekso atau penguasa laut. Upacara Sedekah Laut merupakan upacara tradisional masyarakat nelayan kabupaten Cilacap sebagai ungkapan rasa syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang dilaksanakan pada setiap tahun Bulan Syuro/Muharam pada hari Selasa Kliwon atau Jum’at Kliwon dan berawal dari masa Jabatan Bupati Kanjeng Adipati Tjakrawedana II ( Tahun 1839 – 1856 ) berpangkat Patih Kabupaten Banyumas dengan Gelar Tumenggung.
 Pada Tahun 1956 Gelar Tumenggung diganti dengan Adipati dan nama semula Tjakradirdja diubah dengan nama Tjakrawedana II karena nunggak semi. Pada tahun 1873 Kanjeng Adipati wafat dalam bulan januari takala menghadiri pesta tahun baru di Karesidenan Banyumas. Pengganti Bupati Kanjeng Adipati Tjakrawedana II, putra sulungnya dengan Gelar Tumenggung Tjakrawedana III nunggak semi lagi. Raden Tjakrawedana III inilah pada hari Jum’at Kliwon Bulan Syuro tahun 1875 memanggil seorang sesepuh nelayan Cilacap yang bertempat tinggal di pantai pandanarang sekarang lebih dikenal dengan pantai Teluk Penyu bernama Ki Arsa Menawi untuk menghadap Bupati dan mendapat perintah untuk melarung sesaji yang telah disiapkan di Pendopo Kabupaten. 
            Sesaji yang dikemas dengan bungkus kain warna kuning dan suatu usungan rumah joglo yang beratap daun nipah berisi antara lain kepala sapi serta berbagai kelengkapan kehidupan sehari – hari dari bahan mentah sampai makanan yang beraneka macam, rumah joglo tersebut sekarang disebut Jolen. Untuk selanjutnya sesaji dan jolen tersebut dibawa oleh Ki Arsa Menawi beserta para nelayan diperintahkan oleh Kanjeng Bupati untuk dilarung dilaut selatan dekat Pulau Majeti Karangbandung Pulau Nusakambangan dengan dipercayai oleh para nelayan bahwa tempat tersebut tumbuh bunga Wijayakusuma.
            Pada masyarakat Cilacap, sedekah laut lebih dikenal dengan istilah larung sesaji, yang merupakan prosesi menghayutkan sesaji ke laut sebagai bentuk pengungkapan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa dan penguasa laut pantai selatan, Nyai Roro Kidul. Sosok Nyai Roro Kidul sangat dihormati dikalangan nelayan Cilacap, mereka berpendapat bahwa Nyai Roro Kidul adalah Ratu Pantai Selatan yang menjaga, mengatur serta menghidupi kelangsungan kehidupan di Pantai Selatan Jawa. Mereka juga berpendapat bahwa, penghasilan baik dan buruknya mereka melaut adalah tergantung dari bagaimana kebaikan dari Ratu Pantai Selatan, oleh sebab itu guna menarik mendapatkan keselamatan dari sang ratu, maka setiap tahun masyarakat melakukan persembahan kepada Nyai Roro Kidul.
            Mengingat tradisi ini sangat kuat bagi nelayan khususnya nelayan Cilacap sehingga apabila tidak dilaksanakan mempunyai kekhwatiran bisa akan terjadi malapetaka bagi para nelayan Cilacap.
 
Sedekah laut di Cilacap
Sarana dan Prasarana
·         Perahu nelayan untuk membawa jolen yang akan dilarung.
·         Jolen yang didalamnya berisi sesaji.

Prosesi Pelaksaaan
Prosesi larung sesaji diadakan pada pagi harinya yaitu hari jum’at kliwon atau selasa kliwon kurang lebih pukul 07.00 wib masing-masing kelompok nelayan membawa sesaji dan jolen yang berisi jajan pasar, makanan mentah dan mainan anak-anak serta kepala kerbau, sapi atau kambing tergantung kemampuan kelompok masing – masing dengan diiringi beberapa pasukan dan kesenian tradisional menuju Pendopo Kabupaten. Setelah semua jolen dari kelompok nelayan berada di Pendapa Kabupaten kemudian dibawa menuju pantai teluk penyu.

Waktu Pelaksanaan
Adat nelayan sedekah laut dilaksanakan setiap tahun pada bulan Suro/Muharam tepatnya pada hari Selasa Kliwon atau Jumat Kliwon. Rangakian pelaksanaan sedekah laut ini terdiri dari :
·         Nyekar di pulau Majeti Karang Bandung Nusakambangan, yaitu  lokasi yang diyakini menjadi tempat tumbuhnya bunga Wijaya Kusuma, yang dilaksanakan pada pagi hari sekitar pukul 06.00 WIB satu hari menjelang Prosesi Larung Jolen (hari senin wage atau kamis wage).
·         Pada malam selasa kliwon atau jumat kliwon sebelum pelarungan sesaji diadakan Tirakatan sambil menjaga Jolen yang berisi sesaji yang akan dilarung.
·         Hari selasa kliwon atau jumat kliwon, Prosesi pelarungan Jolen yang berisi sesaji, dilaksanakan sekitar pukul 07.00 WIB.
Proses pelarungan dilaksanakan di tengah laut yaitu dengan cara membuang sesaji yang berada di dalam Jolen. Sesaji dibuang kelaut dan masyarakat akan ramai-ramai merebut sesaji tersebut karena diyakini akan membawa berkah bagi dirinya.
Makna yang terkandung.

Sedekah laut di Cilacap
Dasar pengertian ajaran kejawen yang berkaitan dengan alam­ atau lingkungan hidup yaitu Memayu Hayuning Bawana yang maknanya adalah :
-          Memayu          = mengayomi  atau melindungi
-          Hayu               = rahayu , keselamatan,  pelestarian
-          Bawana           = alam  atau jagad atau dunia .
Jadi Memayu Hayuning Bawana adalah  penyelamatan alam atau lingkungan hidup. Bahwa manusia mempunyai kewajiban  serta tangggung jawab moral atas kelestarian bumi seisinya atau dalam melestarikan lingkungan hidup.

Penutup
Tradisi sedekah laut, nyadran,  atau larung sesaji memiliki landasan filosofi yang berakar dari keyakinan keagamaan dan nilai-nilai budaya lokal yang dianut oleh masyarakat setempat, meskipun dibalik keberlangsungan sejarah ritual sedekah laut terdapat sedikit polemik tentang bagaimana ritual tersebut terbentuk di masyarakat.
Sedekah laut tidak serta-merta muncul mentah hasil warisan budaya jaman dulu, namun peran serta sejarah terutama akulturasi agama yang ada didalamnya turut memberikan nilai-nilai budaya. Animisme-dinamisme yang menjadi akar awal adanya ritual ini, lalu tata cara dan tahapan yang mendapat sentuhan Hindu Budha, serta nuansa Islam yang ada pada isi haturan setiap bait kata syukur dalam prosesi tersebut.
Nilai-nilai filosofi yang terkandung dalam ritual sedekah laut di Cilacap termuat dibalik rangkaian upacara tersebut. Nilai-nilai filosofi yang menarik untuk dipelajari antara lain nilai solidaritas, etis, estetis, kultural dan religius yang terungkap dalam ekspresi simbolis dari upacara-upacara yang disajikan melalui bentuk tari-tarian, nyanyian, do’a-do’a dan ritus-ritus lainnya, terlepas darimana dan bagaimana kebudayaan itu terbentuk atau tercipta.



Komentar

  1. Agama maana yg mengajar kan untuk mengadakan sesaji
    Selain agama penyembah patung

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Upacara Adat Ammateang

Upacara Adat Ammateang Bugis Oleh : Zulkifli (12010047) Prodi Ilmu Al-Quran dan Tafsir Sekolah Tinggi Agama Islam Sunan Pandanaran Pendahuluan Keanekaragaman budaya yang ada di Indonesia harus dipandang sebagai sebuah kekayaan bukan kemiskinan. Bahwa Indonesia tidak memiliki identitas adat dan   budaya yang tunggal bukan berarti tidak memiliki jati diri, namun dengan keanekaragaman adat dan budaya yang ada membuktikan bahwa masyarakat kita memiliki kualitas produksi adat dan budaya yang luar biasa, jika mengacu pada pengertian bahwa kebudayaan adalah hasil cipta manusia. Dengan demikian adat dan Budaya amupun tradisi akan selalu mengalami dinamis dan mendapatkan akulturasi dari berbagai aspek seperti ajaran islam. Pembahasan di sini menggali sebuah adat suku bugis di pulau bagian timur tepatnya di sulawesi selatan. Adat tersebut di kenal dengan nama Upacara Adat Ammateang yang mengalami akulturasi dengan islam yang sejalan dengan perkembangan zaman. Adat Upacara Adat

Selamatan Tujuh Bulanan (Tingkeban)

Selamatan Tujuh Bulan / Tingkeban Mufijatul Hasanah/ 12010028 Islam Budaya Lokal/ M. Sidqi, M. Hum Sekolah Tinggi Agama Islam Sunan Pandanaran A. Pendahuluan Proses terjadinya manusia merupakan peristiwa yang sangat menakjubkan, sebagai tanda keagungan Sang Pencipta. Berwujud dari benda yang tak bernilai /sperma secara bertahap berubah hingga akhirnya sempurna dan lengkap dengan anggota badan yang tersusun rapi dan rumit, bahkan dilengkapi dengan akal pikiran, budi pekerti dan perasaan. Ajaran Islam bisa dinyatakan telah kuat jika sudah mentradisi ditengah masyarakat muslim, sehingga tradisi menjadi sangat menentukan dalam keberlangsungan ajaran disaat tradisi itu telah menyatu dengan ajaran, karena tradisi merupakan darah daging dalam tubuh masyarakat, sementara mengubahnya adalah sesuatu yang sangat sulit, maka sangatlah bijaksana ketika tradisi tidak diposisikan berhadapan dengan ajaran, tetapi sebagai pintu masuk suatu ajaran. Dalam makalah ini sekilas dibahas tentang

Budaya Lokal dan Islam di Kabupaten Kudus

Budaya Lokal dan Islam di Kabupaten Kudus Oleh : Miftahul Karim Pendahuluan Kabupaten Kudus merupakan sebuah kabupaten di Provinsi Jawa Tengah. Ibukota kabupaten ini adalah Kudus, terletak di jalur pantai timur laut Jawa Tengah antara Kota Semarang dan Kota Surabaya. Kota ini terletak kurang lebih 51 kilometer dari timur Kota Semarang. Kabupaten kudus berbatasan dengan Kabupaten Pati di timur, Kabupaten Grobogan dan Kabupaten Demak di selatan, serta Kabupaten Jepara di barat. Kudus merupakan penghasil rokok kretek terbesar di Jawa tengah dan juga merupakan kota santri. Kota ini merupakan pusat perkembangan agama Islam pada abad pertengahan. Selain sebagai penghasil rokok kretek terbesar dan sota santri, kudus juga merupakn kabupaten yang kaya akan kebudayaannya. Seperti dandangan, buka luwur, juga bulusan, serta berbagai macam ragam daerahnya yang menarik untuk diamati dan dipelajari. PEMBAHASAN Seperti banyak daerah di Indonesia, Kabupaten kudus juga memiliki ragam kebudayaan y